Berawal dari ketiadaan. Segumpal daging yang menempel
bersama dengan tulang yang lembut di dalam Rahim seorang yang mulia dan harus
dihormati serta ditaati. Ialah si jabang bayi, yang oleh Allah dipersaksikan
langsung di hadapan-Nya. Persaksian yang akan menandai kesiapannya dalam
mengemban tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi ini. Ialah Allah yang
dengan tegas mengajukan pertanyaan kepada calon-calon manusia penghuni Rahim,
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Dengan yakin dan percaya diri ia pun mejawab,
“Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
Sungguh manusia adalah makhluk yang amat bodoh, bagi
sebagian orang, mereka bodoh karena bersedia mengemban amanah menjadi khalifah
di muka bumi ini. Saat langit, bumi dan gunung menolak untuk mengemban amanah
selayaknya apa yang diberikan kepada manusia. Namun sungguh, itu bukanlah suatu
kebodohan. Itu adalah bukti keberanian yang sejalan dengan maksud Allah menciptakan
manusia di muka bumi ini. Allah menciptakan manusia memang untuk menjadi
khalifah, menjadi pengatur di muka bumi. Bukan langit, gunung, atau bumi itu
sendiri.
Berangkat dari sebuah persaksian, manusia ditempatkan
pada alam yang sama, memiliki status yang sama sebagai manusia dan hamba Allah
swt. Tidak ada manusia yang dilahirkan dalam kondisi sebagai orang yang luar
biasa. Sewajarnya, manusia dilahirkan dengan kondisi yang sama. Polos, tanpa
kemampuan dan daya untuk berusaha. Orang-orang disekitarnyalah yang memenuhi
segala kebutuhan dan keinginannya. Hanyalah isyarat dengan tangis yang mampu ia
pertunjukkan.
Akankah kita menyadari itu, bahwa kita adalah satu.
Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Semua, bukan untuk
golongan atau keturunan tertentu. Semua Allah ciptakan sebagai hamba-Nya, memiliki kesempatan yang
sama dan balasan yang sama. Ada balasan dari setiap kebaikan yang dilakukan,
ada pula balasan bagi setiap keburukan yang digoreskan. Berlaku bagi siapapun,
raja, presiden, menteri, pengusaha, akademisi, petani, pemulung, dan lainnya.
Dalam setiap persamaan dan penyetaraan itu, ada dua
hal yang menjadi pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Ialah hati dan amal sholeh, yang menjadikan manusia lebih mulia dibandingkan
dengan malaikat, atau menjadikannya hina dibandingkan dengan binatang ternak.
Ialah hati, yang menjadi kunci diterimanya sebuah penghambaan. Di sana terletak
niat, di sana bersemayam godaan duniawi, di sana pula bertahta impian akhirat
yang mulia. Sedang amal sholeh, menjadi bukti atas setiap kata yang berbalut
iman di dalam hati. Menjadi ungkapan rasa syukur atas setiap nikmat, menjadi
bukti ketakutan akan ancaman dan kebesaran Allah swt.
Ialah diri, yang hina dan penuh dengan keterbatasan.
Tak ada satu hal pun yang pantas untuk dibanggakan di hadapan orang lain, apatah
lagi di hadapan Allah swt. Asal kita sama, tempat kembali kita pun tak ada yang
berbeda. Terbungkus secarik kain dalam lubang sempit tanpa celah di
sisi-sisinya. Adanya perbedaan di kehidupan ini, adalah cara Allah agar manusia
saling mengenal dan melengkapi, saling berbagi dan menjalin silaturahmi. Bukan
untuk saling berbangga dan meninggikan hati.
Dari sini kita mengambil pelajaran, bahwa dengan
adanya perbedaan seharusnya manusia saling melengkapi, saling memberikan warna,
bersama dan bersatu agar menjadi kuat, juga untuk menciptakan keindahan.
Bukankah pelangi itu berbeda-beda, dan karena perbedaan itu ia indah. Bukankah
kopi akan terasa pahit jika tak bersama-sama dengan gula. Gula juga tak akan
nikmat jika hanya sendiri. Namun, ketika perbedaan itu disatukan, akan menjadi
sesuatu yang jauh lebih berarti dan disukai banyak orang.
R.A.
Bagus gan dari isi dan judul keseluruhan artikel di blog agan dan bermanfaat untuk dibaca, semoga kedepannya sukses yaa gan.
ReplyDeleteOoh yaa, jangan lupa mampir ke blog ane juga hehehe... Itupun kalau tertarik hehehe..
Aamiin.. Makasih banyak masukan dan doa nya.. Sukses jg gan..
Delete