Wednesday 30 May 2018

Serpihan Akhlak Yang Hilang


Memang sudah semestinya, Islam sebagai ajaran yang syumul atau menyeluruh telah mengatur segala aspek kehidupan manusia. Dari apa yang ada pada dirinya sendiri maupun dalam kehidupan sosialnya. Segala bentuk aturan dan tuntunan yang diajarkan oleh Islam pada dasarnya adalah untuk menciptakan keteraturan dan kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri. Tidak ada satu pun perintah yang diajarkan oleh Islam adalah untuk menciptakan kerusakan, kebencian, perceraian, dan segala bentuk kedzaliman di muka bumi ini.

Sebagai seorang muslim yang meyakini bahwa Islam adalah agamanya, dan Allah adalah Tuhan satu-satunya, harusnya mampu menjadi pribadi yang santun dan memberi teladan bagi muslim yang lain.  Namun nyatanya, ada yang hilang dari kaum muslimin saat ini. Yang menyebabkan sebagian besar orang-orang muslim tak lagi memiliki izzah, tak mampu menjadi pribadi yang santun di hadapan muslim lainnya, apatah lagi di hadapan orang-orang kafir.

Ialah kepribadian dan bangunan akhlak yang hilang dari diri mereka. Kepribadidan  yang sejatinya sejak awal telah dibentuk dan dibina oleh manusia mulia, Muhammad saw., dan telah jelas diterangkan kriterianya dalam lembaran-lembaran mushaf Alqur’anul Karim. Sungguh kepribadian itu, dimiliki oleh pribadi-pribadi yang senantiasa berusaha memperbaiki diri, mengenal Islam dan hakikat keberadaan Allah melalui ayat-ayatNya. Sehingga apa yang Ia lakukan semata-mata hanya tertuju pada anugerah dan naungan ridhoNya.

Ialah Rasul Allah, Muhammad saw., yang telah berhasil membina dan membentuk sebuah generasi dengan kepribadian yang luar biasa. Yaitu pribadi-pribadi yang siap memikul beban risalah di pundaknya, mendirikan daulah, membangun peradaban, serta mengukir sejarah besar dalam kehidupan umat manusia. Ialah Muhammad saw., yang mampu mengubah pribadi-pribadi lemah menjadi kuat, yang penakut menjadi pemberani, yang bodoh menjadi pintar, yang bercerai menjadi bersatu, dan mengubah manusia-manusia tanpa adab menjadi sebaik-baik umat berperadaban di muka bumi.


Maka dari pengajaran itu, layaknya kaum muslimin kembali berusaha mengembalikan pribadi-pribadi mereka memiliki kepribadian seperti umat terdahulu. Berusaha memperbaiki diri, memperbaiki kepribadian dan bangunan akhlak yang ada pada diri mereka. Segala ucapan dan tindakan yang dilakukannya harus senantiasa bersandar pada apa yang diajarkan oleh Rasulullah melalui kitab Al-Qur’an dan Sunnah-sunnahnya. Agar setiap muslim menjadi pribadi-pribadi yang ikhlas dan jujur, melaksanakan ibadah sesuai dengan syariatnya, menjauhi larangan sesuai kadarnya, menyampaikan ilmu dengan pemahaman dan hikmah yang nyata, serta menjadi pribadi yang patut untuk dijadikan teladan bagi muslim yang lain, maupun mereka yang saat ini belum mendapatkan hidayah dari Sang Pencipta.

R.A.

Tuesday 29 May 2018

Para Penyeru Jalan Tuhan


Ialah Islam, agama yang tak ada keraguan bagi seorang muslim yang beriman. Islam yang syumul, meliputi segala hal, tak terbatas ruang dan waktu. Dulu maupun sekarang, di Masjid maupun di hutan, Islam adalah satu dan Allah tetaplah sama. Ialah Islam, agama penyempurna dan penutup dari segala bentuk ajaran yang pernah Allah turunkan di muka bumi melalui Rasul-rasul-Nya. Ialah agama yang mulia, penuh cinta, perdamaian dan kasih sayang. Adalah juga kemuliaan bagi insan yang bersedia berlelah menitih jalan dakwah untuk menjadi penyeru kebaikan, menyeru manusia pada agama yang hanif dengan keutuhan dan keuniversalannya, dengan syi’ar dan syari’atnya, dengan akidah dan kemuliaan akhlaknya, serta penyampaian yang benar.

Ialah Muhammad, sebaik-baik penyeru agama ini yang Allah datangkan kepada manusia. Seorang Rasul yang Allah pilih, seorang manusia mulia dengan akhlak yang luar biasa. Seorang Rasul yang merasakan berat penderitaan kaumnya, Rasul yang menginginkan keimanan dan keselamatan bagi sekalian umat manusia, Rasul yang amat penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Sungguh, Islam sebagai satu-satunya jalan yang diridhoi Allah adalah satu bentuk tak terpisahkan dari para penyerunya. Ialah orang-orang mukmin itu sendiri yang berkewajiban memikul beban untuk menyerukan agama ini dengan caranya masing-masing. Dengan cara yang tepat dan tentunya disertai pemahaman yang benar atas agama itu sendiri. Seorang mukmin yang menyerukan agama ini dengan pemahaman yang benar namun dengan cara penyampaian yang tidak tepat adalah sama berbahayanya dengan seorang pendakwah yang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Islam namun pandai dalam berargumen dan berbicara di depan orang lain.

Oleh karenanya, agama yang mulia ini akan tetap mulia dalam penyeruannya kepada manusia. Apabila penyeru-penyerunya adalah mereka yang memiliki pemahaman yang lurus terhadap agama ini. Penyeru yang berakhlak dan mampu menjadi teladan serta pandai memberi hikmah dalam setiap untaian kata dan tindakannya. Penyeru yang tidak hanya paham, namun juga tau bagaimana menyampaikannya dengan cara yang tepat pada setiap objek seruannya.

Bagi para penyeru agama ini, pahamilah bahwa ini adalah tugas para Rasul yang mulia. Yang menyampaikan perintah Allah dengan pemahaman, cara dan petunjuk yang jelas. Tugas yang pada akhirnya diwariskan kepada para ulama dan aktivis dakwah yang ikhlas, rela berlelah di jalan sempit dan berduri. Jalan yang tak banyak orang memilihnya. Sungguh, mereka layak meraih derajat yang mulia dan pahala yang besar di sisi Allah swt.

Ialah Rasul yang mulia, yang pernah bersabda pada masa hidupnya; “Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, ia berhak memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, ia mendapat dosanya seperti dosa yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka” (HR. Muslim, Malik, Abu Daud, dan Tarmidzi).


Lalu, adakah yang lebih mulia daripada apa yang mereka lakukan?, menyeru manusia pada jalan Tuhannya, kepada petunjuk dan hukum-hukum-Nya. Memang tak mudah, karenanya tak banyak yang mau melaluinya. Dan ketahuilah, bahwa tugas ini pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung. Semua takut, hanya manusia yang berani menerimanya.

R.A.

Tugas Kita Adalah Bersyukur


Raga telah tercipta, ruh telah ditiupkan, nikmat Allah pun mulai mengalir menjumpai setiap insan yang akan lahir ke dunia. Tak ada yang sanggup mengingatnya, setiap nikmat dan kasih sayang Allah yang tercurah kepada si jabang bayi yang masih berada di dalam kandungann ibunya. Nikmat yang rasanya begitu nyaman, tanpa beban dan tanggung jawab yang harus dijalani. Sehingga ketika pada saat ia keluar dari Rahim ibu, ia melihat dunia yang penuh dengan hal-hal besar, sesuatu yang tidak pernah terbayang, begitu banyak beban dan tanggung jawab yang siap dipikul. Perasaan takut yang tergambar dalam setiap tangisan si kecil itu.

Ialah manusia, makhluk yang Allah ciptakan sebagai sebaik-baik penciptaan. Dengan begitu indah dan sempurna Allah membuat skenario kehidupan bagi masing-masing darinya. Setiap helaan nafas, penglihatan, pendengaran, kesehatan dan lainnya yang Allah berikan, adalah agar kita bersyukur terhadapnya. Kita yang memiliki sepasang mata indah, tak pernahkah terbayang bagaimana rasanya menjadi  mereka yang semasa hidupnya tak sempat melihat kebesaran Allah melalui ayat-ayat kauniyahNya di dunia ini. Kita yang memiliki sepasang kaki yang kuat, tak pernahkah terpikir bagaimana rasanya menjadi mereka yang harus berjalan dengan kursi roda. Kita yang memiliki badan yang sehat, tak pernahkah terbayang bagaimana rasanya terbaring lemah di rumah sakit.

Allah tak menuntut banyak atas apa yang telah Ia karuniakan kepada manusia. Allah hanya ingin kita bersyukur, bersyukur atas semua karuniaNya. Sebanyak apa pun manusia bersyukur, tak menambah sedikitpun kemuliaan Allah. Kalaupun tidak ada yang bersyukur, juga tak mengurangi sedikit pun kebesaran Allah. Segala bentuk syukur manusia kepada Sang Pencipta adalah kembali kepada manusia itu sendiri. Semakin manusia bersyukur, maka Allah juga akan semakin menambah kenikmatan itu kepadanya. Lalu bagaimana jika manusia kufur terhadapnya?, sunggup azab Allah akan menanti untuk menghampirinya.

Ialah hati, yang dengannya manusia patut bersyukur. Meyakini bahwa setiap kenikmatan yang dirasakan adalah hanya bersumber dari Allah swt. Keyakinan yang terpatri di dalam hati akan berbuah pada lisan yang senantiasa melantunkan kalimat pujian kepada Allah swt. Lisan yang terjaga  dari  keluhan dan segala macam bentuk kekufuran atas nikmat yang telah Allah berikan. Lisan yang senantiasa bersyukur juga akan berbuah pada apa yang dilakukan oleh seluruh anggota tubuh. Adalah sebuah bentuk kesyukuran, menggunakan seluruh potensi akal dan raga yang Allah berikan untuk melakukan kebaikan demi menggapai ridhaNya.


Bersyukurlah atas setiap keadaan yang Allah persaksikan. Bersyukur atas teman dan orang-orang yang saat ini membersamai. Tak ada yang tahu, di depan sana, apa yang telah Allah rencanakan atas setiap hambaNya. Peganglah ia, teman sholih sholihah yang saat ini bersama. Karena mungkin nanti, tak ada lagi teman syurga sebaik dia, yang Allah pertemukan dalam belahan masa yang akan datang. Syukuri apa yang dimiliki saat ini, sadarlah bahwa di luar sana, banyak insan yang berharap menjadi seperti kita tapi tidak bisa. Bersyukurlah atas ilmu dan kesempatan untuk menuntutnya, gunakan sebaik-baiknya dan manfaatkan untuk kebaikan sesama. Jadikan semua berbuah manfaat, apapun yang dimiliki, apapun yang dipunya. Bukankan manusia terbaik adalah mereka yang paling banyak manfaatnya. 

R.A.

Sejatinya Yang Berbeda Itu Adalah Sama


Berawal dari ketiadaan. Segumpal daging yang menempel bersama dengan tulang yang lembut di dalam Rahim seorang yang mulia dan harus dihormati serta ditaati. Ialah si jabang bayi, yang oleh Allah dipersaksikan langsung di hadapan-Nya. Persaksian yang akan menandai kesiapannya dalam mengemban tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi ini. Ialah Allah yang dengan tegas mengajukan pertanyaan kepada calon-calon manusia penghuni Rahim, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Dengan yakin dan percaya diri ia pun mejawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.

Sungguh manusia adalah makhluk yang amat bodoh, bagi sebagian orang, mereka bodoh karena bersedia mengemban amanah menjadi khalifah di muka bumi ini. Saat langit, bumi dan gunung menolak untuk mengemban amanah selayaknya apa yang diberikan kepada manusia. Namun sungguh, itu bukanlah suatu kebodohan. Itu adalah bukti keberanian yang sejalan dengan maksud Allah menciptakan manusia di muka bumi ini. Allah menciptakan manusia memang untuk menjadi khalifah, menjadi pengatur di muka bumi. Bukan langit, gunung, atau bumi itu sendiri.

Berangkat dari sebuah persaksian, manusia ditempatkan pada alam yang sama, memiliki status yang sama sebagai manusia dan hamba Allah swt. Tidak ada manusia yang dilahirkan dalam kondisi sebagai orang yang luar biasa. Sewajarnya, manusia dilahirkan dengan kondisi yang sama. Polos, tanpa kemampuan dan daya untuk berusaha. Orang-orang disekitarnyalah yang memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Hanyalah isyarat dengan tangis yang mampu ia pertunjukkan.

Akankah kita menyadari itu, bahwa kita adalah satu. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Semua, bukan untuk golongan atau keturunan tertentu. Semua Allah ciptakan  sebagai hamba-Nya, memiliki kesempatan yang sama dan balasan yang sama. Ada balasan dari setiap kebaikan yang dilakukan, ada pula balasan bagi setiap keburukan yang digoreskan. Berlaku bagi siapapun, raja, presiden, menteri, pengusaha, akademisi, petani, pemulung, dan lainnya.

Dalam setiap persamaan dan penyetaraan itu, ada dua hal yang menjadi pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Ialah hati dan amal sholeh, yang menjadikan manusia lebih mulia dibandingkan dengan malaikat, atau menjadikannya hina dibandingkan dengan binatang ternak. Ialah hati, yang menjadi kunci diterimanya sebuah penghambaan. Di sana terletak niat, di sana bersemayam godaan duniawi, di sana pula bertahta impian akhirat yang mulia. Sedang amal sholeh, menjadi bukti atas setiap kata yang berbalut iman di dalam hati. Menjadi ungkapan rasa syukur atas setiap nikmat, menjadi bukti ketakutan akan ancaman dan kebesaran Allah swt.

Ialah diri, yang hina dan penuh dengan keterbatasan. Tak ada satu hal pun yang pantas untuk dibanggakan di hadapan orang lain, apatah lagi di hadapan Allah swt. Asal kita sama, tempat kembali kita pun tak ada yang berbeda. Terbungkus secarik kain dalam lubang sempit tanpa celah di sisi-sisinya. Adanya perbedaan di kehidupan ini, adalah cara Allah agar manusia saling mengenal dan melengkapi, saling berbagi dan menjalin silaturahmi. Bukan untuk saling berbangga dan meninggikan hati.


Dari sini kita mengambil pelajaran, bahwa dengan adanya perbedaan seharusnya manusia saling melengkapi, saling memberikan warna, bersama dan bersatu agar menjadi kuat, juga untuk menciptakan keindahan. Bukankah pelangi itu berbeda-beda, dan karena perbedaan itu ia indah. Bukankah kopi akan terasa pahit jika tak bersama-sama dengan gula. Gula juga tak akan nikmat jika hanya sendiri. Namun, ketika perbedaan itu disatukan, akan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti dan disukai banyak orang.

R.A.

Monday 28 May 2018

Saudariku, Tutuplah Auratmu


Jika kita menengok keadaan generasi Islam masa kini. Saat dimana teknologi semakin maju, media informasi semakin berkembang, dan sarana menuntut ilmu semakin mudah. Justru semakin banyak kita lihat generasi Islam yang terbawa arus dan lupa atau sengaja melupakan aturan Islam yang seyogyanya adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri. Banyak kita lihat saudari-saudari muslimah kita yang dengan sengaja keluar dari rumah tidak mengenakan  jilbab. Bahkan mengenakan pakaian ketat yang mengumbar auratnya sendiri. Yang lebih disayangkan adalah, hal demikian telah dianggap biasa, tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan yang perlu diingkari.

Alangkah menyedihkan ketika mereka yang telah berusaha untuk menutup aurat, menjaga pandangan dan pergaulannya justru dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan lucu. Ironi memang ketika media informasi semakin berkembang dan sarana untuk belajar Islam semakin banyak dan mudah, namun justru banyak pula saudari muslimah yang menutup diri akan hal itu. Justru dianggap norak dan tidak modis ketika jilbab terurai nan anggun, pakaian lebar dan tidak membentuk lekuk tubuh. Tidak tahu dan tidak ingin tahu bagaimana sebenarnya Islam telah mengatur cara berpakaian seorang muslimah. Aturan yang ada justru dianggap membatasi untuk berkreatifitas dan bergaul kepada sesama. Padahal jika mereka telah merasakan, justru dengan jilbab itu mereka akan lebih terjaga.

Ada yang mengatakan bahwa perbaiki dulu hati, baru setelah itu menutup aurat. Sungguh hati tidak akan pernah menjadi baik ketika aurat yang nampak secara lahir pun tak berusaha engkau tutupi. Saudariku, menutup aurat bukanlah Sunnah, tapi itu wajib. Wajib bagi setiap wanita yang menyatakan bahwa dirinya beragama Islam. Entah hati mereka telah baik maupun dalam usaha untuk menjadi baik. Perkara hati dan menutup aurat adalah dua hal yang berbeda. Seorang wanita diwajibkan untuk menutup aurat bukan ketika Ia telah baik, tapi ketika telah beranjak akil baligh.

Ada pula dari saudari muslimah yang berdalih dengan kalimat “Laa ikroha fi diin”, yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama. Agama Islam sendiri tidak memaksa kepada siapa saja untuk mengikutinya, namun demikian bukan berarti bebas dalam menentukan pilihan untuk melaksanakan perintah agama ataupun tidak. Akan tetapi bagi mereka yang memilih untuk tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, maka akan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Bahkan Rasulullah telah mensinyalir bahwa kaum wanita yang enggan untuk mengenakan jilbab, ia berpakaian tapi seperti telanjang, tidak akan mencium harumnya bau surga.

Al-Qur’an telah gamblang menjelaskan ancaman bagi mereka yang  enggan untuk mengenakan jilbab. Ialah neraka yang dengan segala bentuk penyiksaannya akan menjadi tempat kembali. Anggapan yang salah jika berfikir bahwa perkara menutup aurat adalah perkara yang tidak terlalu besar dan bisa ditutupi dengan mendulang pahala lain seperti shalat lima waktu, zakat, haji, dan berpuasa. Padahal Allah telah berfirman dalam Q.S. Al-Maidah ayat 5, “Barangsiapa yang mengingkari hukum-hukum syariat Islam sesudah beriman, maka hapuslah pahala amalnya bahkan di akhirat kelak ia termasuk orang orang yang merugi”.

Berjilbab merupakan salah satu bagian dari syariat Islam, oleh karena itu jika seorang muslimah enggan berjilbab maka berarti Ia telah mengingkari syariat Islam. Sehingga walaupun Ia telah rajin shalat lima waktu, puasa, zakat dan berbagai ibadah Sunnah lainnya namun tidak menunaikan kewajiban berjilbab, maka Ia akan termasuk kepada golongan orang-orang yang merugi di akhirat kelak.

Selain kerugian yang akan dialami oleh diri pribadi saudari muslimah yang enggan mengenakan jilbab. Perbuatan tersebut juga akan berdampak kepada orang lain yang juga akan merasakan ancaman dari Allah SWT.  Seorang anak yang tidak memakai jilbab ketika keluar rumah, maka hal tersebut juga akan berimbas pada ancaman neraka bagi orang tuanya. Lebih daripada itu, ketika seorang muslimah tidak mengenakan jilbab dan mengumbar auratnya, hal tersebut akan menjadi godaan bagi lawan jenisnya. Akankah saudari muslimah menginginkan hal tersebut?. Berdosa sekaligus membuat orang lain juga berdosa. Mari sedikit demi sedikit kita memperbaiki hati kita. Namun kewajiban berjilbab jangan sampai ditunda-tunda. Kita tidak tahu kapan Allah akan menyudahi cerita hidup kita di dunia ini.


Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takuti atas umatku ialah hawa nafsu yang merasa masih panjang umurnya. Adapun hawa nafsu yang menyesatkan manusia dari kebenaran dan hawa nafsu yang masih merasa panjang umurnya (panjang angan-angan) semua itu akan lupa pada hari akhir“.

R.A

Tuesday 15 May 2018

Catatan Pemuda Timur Indonesia

Niat telah terpatri dan langkah pun dimulai. Terbang mengarugi awan di atas bumi pertiwi, menuju bumi yang lain di belahan negeri. Ini adalah kali pertama raga ini berdiri, di sebuah negeri yang menyimpan hikmah di setiap sisi. Menceritakan sejarah panjang perjuangan di negeri ini. Inilah Bandung, bumi lautan api.

Sebuah masjid menghentikan langkah. Masjid indah dengan berjuta berkah. Menyimpan himah dan juga sejarah, akan menjadi pelopor peradaban negeri antah berantah. Di sana aku menuai kisah, yang akan tetap teringat dan tercatat dalam memori indah. Bersama saudara muslim dan saudari muslimah. Menimba ilmu dan pengalaman penuh berkah.

Kesempatan ini adalah sebuah kesyukuran. Memetik ilmu dan pelajaran di tanah pasundan. Berawal dari sebuah masjid bernama Salman, bangunan klasik pelopor peradaban. Hingga berjalan di sudut-sudut bumi parahyangan. Biarlah kuceritakan, tertawalah jika ini lucu, tapi bagiku ini mengesankan.
Di sini kuceritakan, bertemu dengan Saudara dan saudari yang memiliki satu tujuan. Berharap menjadi bagian kecil dari lahirnya sebuah peradaban. Walau pada akhirnya harus ada perpisahan, namun hati ini akan tetap terpaut di atas sajadah keimanan.

Dalam satu tempat kami dikumpulkan. Bersama 100 pemuda yang siap berlelah mengahadapi tantangan. Mencoba belajar dan memetik hikmah dari berbagai guru ilmu, guru alam, dan guru kehidupan. Berjalan jauh di tengah hutan, dengan pundak memikul beban. Memang lelah, tapi tidak jika kita bisa mengambil makna dari sebuah kebersamaan.

Di sini kuceritakan, tentang sebuah negeri yang indah dengan pesona yang menawan. Ada laut, danau, gunung, dan juga hutan. Semua ada dan terbentang sejauh pandangan. Menyimpan mineral dan kekayaan dalam setiap kerukan. Namun sayang kawan-kawan, Negeri ini berpenyakitan. Bukan karena negerinya yang salah, namun ulah mereka yang duduk di kursi dengan memegang berbagai jabatan.

Negeri ini butuh perubahan. Butuh orang yang bekerja atas dasar cinta, bukan kekuasaan. Orang yang bekerja atas dasar iman, bukan nafsu syaitan. Membangun negeri ini dengan damai dan penuh keberkahan.

Wahai saudara dan saudariku yang hanya karena Allah aku mencintai kalian. Melalui catatan ini aku berdo’a dan berpesan, semoga kisah ini tak akan terlupakan. Bahwa kita pernah bersama dalam satu tujuan, dalam satu ikatan takbir yang kita teriakkan. saling mengingatkan untuk kebaikan, dan satu tujuan yang kita citakan.

Romli Amrullah - LMD Nasional 193

Monday 14 May 2018

Sepenggal Kisah Di Tanah Pasundan


Sepenggal kisah menggoreskan tinta cerita dalam kehidupan. Tidak ada yang patut untuk diucapkan selain rasa syukur atas kesempatan yang telah Allah berikan. Kesempatan yang memberikan pengajaran bahwa kita punya negeri yang indah penuh pesona dan keluhuran. Iyalah Bandung, tanah pasundan dan bumi parahyangan. Biarkan kuceritakan.. Tertawalah jika ini lucu, tapi bagiku ini mengesankan.

Ada yang mengesankan untuk setiap jumpa yang pertama. Perjumpaan yang mengenalkanku pada satu dari beribu tempat indah di negeri tercinta. Tanah yang menjadi saksi perjuangan para pendahulu bangsa. Tanah yang menyimpan banyak cerita dibalik keelokannya. Menjadi penyejuk bagi insan yang menyapa. Menyimpan pesan dalam setiap sudut-sudutnya.

Di sini kuceritakan. Bertemu dengan banyak saudara/i yang memiliki satu tujuan. Walau pada akhirnya harus ada perpisahan, namun hati ini akan tetap terpaut atas dasar keimanan. Wahai saudara/i ku yang hanya karena Allah aku mencintai kalian, melalui goresan ini aku berpesan semoga cerita ini takkan kita lupakan. Bahwa kita pernah bersama dengan satu tujuan, dalam satu ikatan takbir yang kita teriakkan. Saling mengingatkan untuk kebaikan, dan untuk satu tujuan yang kita citakan.

#LMDN193
#RapatDanLurus
#ExtraMiles
#KebaikanYangMengalir
#IjtihadTeknologi
#MerdekaUntukPeradaban
#Bandung
#MasjidSalmanITB