Tuesday 30 October 2018

AKP, GARBI, dan Berulangnya Sejarah


Tahun ini adalah “tonggak” 20 tahun dimulainya kebangkitan arah baru di Turki. Tepatnya 20 tahun dan 1 bulan yang lalu, pada September 1998, Recep Tayyip Erdogan mendapat vonis penjara akibat membaca puisi yang dituding “menyebarkan radikalisme”. Mengapa ini menjadi tonggak?

Karena pemenjaraan ini memicu Erdogan dan kawan-kawannya untuk mencari cara baru dalam memperbaiki negeri mereka. Mereka memahami bahwa untuk menghadapi tantangan zaman, tak mungkin menggunakan cara lama yang ada di partai Fazilet (dan kemudian Saadet). Mereka meyakini bahwa menghadapi dunia global yang semakin dinamis, perlu pula menggunakan cara pemikiran yang dinamis. Tidak boleh terkungkung dan mengungkung diri, mereka harus meluaskan cakupan dan jangkauan. Berkompromi kanan, dan kiri. Tapi, ini tak mereka temukan di partai Fazilet. Selain karena kaum “tradisionalis” yang dipimpin oleh Hoca Necmettin Erbakan masih berkeras pada cara tertutup dalam berkontribusi, para pentolan golongan tradisionalis juga masih memakai system “tarekat” dan “dergah”(jamaah) dalam berpartai. Alih-alih partai yang berorientasi pada system, dimana penunjukan seseorang dan penugasan memakai pertimbangan merit (kemampuan), partai Fazilet masih memakai pandangan bahwa siapa yang paling dekat pada pemimpin jamaah, siapa yang di-endorse oleh para syekh, maka dialah yang akan mendapat suatu kedudukan, baik kedudukan didalam partai maupun didalam institusi-institusi negara. Kelompok tradisionalis ini dinamakan Gelenekciler, sementara kelompok reformis ini dinamakanYenilikciler.

Mengapa ini menjad masalah? Karena ditengah kondisi Turki saat itu, dimana hanya memakai jilbab bisa mengakibatkan seorang mahasiswi didrop out, dimana ketahuan melaksanakan shalat bisa mengakibatkan jabatan seseorang dicabut, dimana hukum menjadi “mainan” rezim militer yang berkuasa dimana kondisi ekonomi negara secara umum sedang mengalami penurunan dengan hiperinflasi dan keseluruhan partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan terkesan tidak mampu menangani atau bahkan malah berpartisipasi dalam menimbulkan semua kekurangan itu, maka rakyat bisa “dipangku” untuk beralih mendukung mereka. Syaratnya, diperlukan kompromi dalam gaya juang dan cara berpikir.

Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh para yenilikciler. Dan para yenilikciler itu sebetulnya sudah memikirkan banyak cara; mereka menginginkan sebuah negara modern yang sejahtera, adil dan makmur, tapi tetap menghormati dan menganggap penting nilai-nilai luhur yang menjadi bagian dari identitas mereka. Jangan salah, para yenilikcilerini tidak bermain di tataran politik identitas; yang mereka tawarkan adalah ide, narasi, bahwa Turki harus keluar dari dikotomi “Turki putih”(orang-orang Kemalis yang menganggap diri mereka telah tercerahkan dari agama) dan “Turki hitam” (orang-orang Turki yang masih percaya dengan nilai-nilai agama). Bilapun belum mampu keluar dari dikotomi seperti itu, minimal secara professional mereka harus mampu keluar dari dikotomi “Mili Gorus” dan “bukan Mili Gorus”, orang sana dan orang sini. Siapapun yang punya ide baik, yang punya kemampuan, yang bisa mendapatkan cara terbaik dalam membangun bangsa, silahkan bergabung.

Namun, di partai Fazilet dan kemudian Saadet, hal ini tak ditemukan parayenilikciler. Kontrol ketat gelenekciler, terbukti pengkaderan yang harus melalui persetujuan mereka, komposisi Dewan Pimpinan Pusat yang anggotanya tak bisa bergerak tanpa tuntunan para gelenekciler, serta keengganan golongan tua ini menerima ide-ide baru, membuat yenilikcilermenantang figure Recai Kutan sebagai symbol golongan tua dalam perebutan jabatan ketua partai. Disinilah, perpecahan itu terjadi.

Recai Kutan, seorang teknokrat kenamaan yang memiliki gelar doktor dibidang teknik, ditantang oleh Abdullah Gul yang berlatar belakang akademisi ekonomi. Dibawah kekangangelenekciler, Recai Kutan memenangkan kongres partai. Namun, kemenangan yang tipis ini, dimana Gul mendapat 521 suara berbanding 633 suara, ini lebih karena ketaatan emosional para delegasi kongres dibanding penglihatan mereka secara adil mengenai kemampuan Recai Kutan dan Abdullah Gul.

Sesudahnya, dengan dalih para reformis ini keluar dari garis Mili Gorus, tetua partai (gelenekciler) mengirim Gul dan kolega-koleganya ke komite disiplin (BPDO?). Selain dipreteli perannya di partai, mereka diminta untuk “kembali” ke jalan yang benar. Dimata para tetua, cara mereka merupakan cara yang terbaik dalam melindungi jamaah. Dimata mereka, apa yang dilakukan Gul dan Erdogan merupakan cara-cara liar yang hanya meningkatkan resiko bagi jamaah. Terlebih, para reformis dianggap “kurangajar” karena telah berani membangkang pada para syekh yang menjadi tulang punggung partai. Dari sinilah, kelompok Yenilikciler pindah ke partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan, sedangkan sisanya memilih bertahan bersama Erbakan di partai Saadet yang baru dibentuk.

Meski Erdogan masih menderita larangan berpolitik, gerakan yang ia bentuk luar biasa; lebih dari setengah anggota parlemen memilih berpindah ke AKP. Erdogan, bersama kawan-kawannya seperti Abdullah Gul, Bulent Arinc dan Cemil Cicek, membangun narasi baru berupa keinginan Turki menjadi anggota Uni Eropa, membangun pertumbuhan ekonomi tanpa inflasi tinggi, memberikan layanan masyarakat, memberi figure yang baik dan segar pada masyarakat, serta menganggap nilai-nilai agama sebagai dasar tapi bukan denominator dominan.

Awalnya, arus bawah merasa ragu. Namun kemudian, jelang pemilu, apa yang dibawa AKP mendapat sambutan meluas. AKP dianggap memutus rantai kekacauan masa lalu, alih-alih pengkhianat. Saat para kepala daerah dari tradisi Mili Gorus seperti walikota Ankara Ibrahim Melih Gokcek akhirnya memilih pindah ke AKP, maka pecahlah bendungan itu; mayoritas pengikut tradisi Mili Gorus mengikuti AKP, sementara narasi baru dan dinamis yang penuh kompromi seperti yang dikemukakan AKP menarik pemilih-pemilih baru diluar ceruk Mili Gorus. The rest is history. Yang terjadi kemudian adalah sejarah.

Sekarang, 20 tahun pasca Erdogan dicabut hak politiknya, narasi yang mirip kembali terjadi di Indonesia, saudara seiman bangsa Turki. Sama seperti Refah, yang mengalami guncangan besar pasca kudeta bayangan pada 1997, PKS kini sedang mengalami guncangan pasca insiden pada 2013.

Sama seperti saat itu, dimana muncul keretakan antara golongan tradisionalis dan reformis didalam tubuh partai mengenai kelompok mana yang merupakan kelompok terbaik dalam mengelola partai serta narasi mana yang lebih baik dalam membawa partai untuk maju berkontribusi dalam kehidupan bernegara, segala kisruh besar yang terjadi didalam tubuh PKS pada hakikatnya juga sama, tidak hanya sekedar jabatan melainkan mengenai narasi siapa yang mendapat tempat didalam pengelolaan partai.

Sama seperti apa yang terjadi pada partai Fazilet, dimana pada pemilu kepala daerah 1999 mereka kehilangan banyak daerah akibat perpecahan internal, PKS kini mengalami banyak kehilangan daerah akibat perpecahan internal.

Sama seperti apa yang terjadi pada partai Fazilet dimana “kekalahan” kubu yenilikciler mengakibatkan para pendukung mereka didalam struktur partai dibabat habis, pasca "kubu Keadilan" kembali memegang kendali partai maka pendukung "kubu Sejahtera" didalam struktur nyaris dibabat habis.

Ini terjadi disaat jamaah sendiri sedang terancam oleh pihak-pihak yang saat ini sedang memegang kendali negara, disaat negara itu sendiri sedang butuh penyegaran, disaat rakyat itu sendiri sedang butuh narasi baru yang membawa kompromi bagi semua.

Inilah yang menjadi kegelisahan para pemuda. Disaat mereka sedang butuh menjawab tantangan, disaat partai seharusnya menjadi payung bagi semua, partai malah menjadi ajang baper yang mengalihkan fokus partai.

Lagi-lagi, sama seperti apa yang terjadi didalam partai Fazilet, kegelisahan ini membuat para pemuda dan pendukung mereka mendirikan sebuah organisasi baru yang dianggap sebagai wadah dalam berjuang. Wadah ini dinamakan GERAKAN ARAH BARU INDONESIA (GARBI).

Namun, sama seperti AKP di awal pendiriannya, GARBI dicitrakan berbahaya. Bagi PKS, GARBI adalah brutus yang akan menikam jamaah. Bagi non-PKS, GARBI masih diragukan apa mampu membawa narasi Islam kedalam modernitas.

Tapi, seperti apa GARBI sebetulnya?

Yang saya analisa, GARBI mirip dengan AKP, dalam konteks mereka ingin membawa pembaharuan, sebuah narasi baru demi membawa maju Indonesia. GARBI tidak ingin menikam jamaah; justru sebaliknya, GARBI ingin menyelamatkan jamaah dengan menggunakan cara baru yang lebih manjur, lebih dinamis dan lebih dapat diterima semua. GARBI ingin menjadi wadah pemikiran dalam bagaimana seharusnya bernegara, bagaimana seharusnya menjawab tantangan zaman, bagaimana seharusnya menjawab persoalan-persoalan yang saat ini sedang ada di masyarakat, baik persoalan sosial, politik, ekonomi, masyarakat maupun agama.

Dalam perjalanannya, GARBI telah didukung para praktisi pejabat publik seperti wakil gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi dan bupati Takalar Syamsari Kitta. GARBI menunjukkan mampu merangkul mereka yang berperan dalam membentuk Indonesia.

Namun, GARBI masih dianggap aneh oleh kedua pihak. Dari sisi PKS, GARBI tidak menonjolkan identitas-identitas, bahkan cenderung menerima dan bergabung dengan mereka yang “baju”nya merupakan baju liberal. Dari sisi non-PKS, GARBI masih dilihat memiliki akar agama. Tapi itulah yang membuat GARBI sangat mirip dengan AKP. Mengapa? Karena GARBI dibentuk untuk membawa perubahan, narasi baru demi membawa Indonesia lebih baik. GARBI ingin menerima semua, GARBI akan menerima semua, sepanjang semua memiliki niat tulus dalam berkontribusi memajukan Indonesia. Karena itulah, identitas atau atribut bukanlah menjadi yang utama.

Namun disisi lain, GARBI tidak ingin membawa narasi bangsa yang lupa berpijak pada nilai-nilai luhur, baik nilai kebangsaan maupun keagamaan. Sama seperti para petinggi AKP yang tetap menghormati, mengimani, meyakini dan menjalankan ajaran agama Islam, dalam GARBI Islam juga merupakan pedoman. Dialektika yang dibawa adalah Islam dijalankan bukan karena Islam adalah dogma, tapi pada hakikatnya Islam bisa membantu menjawab tantangan modern, Islam dapat dijalankan tanpa bertentangan dengan Pancasila. Islam adalah pendorong, bukan penahan.

Setidaknya itu yang saya lihat menjadi kesamaan antara GARBI dengan AKP.

Saya tidak tahu apa GARBI akan menjadi partai atau tetap menjadi ormas. Saya tidak tahu apakah GARBI akan terjerumus dalam kebaperan, sama seperti apa yang terjadi pada pendahulunya baik di Indonesia maupun Turki. Saya juga tidak tahu apa GARBI mampu meniru AKP untuk meyakinkan khalayak banyak mengenai kebaikan yang mereka bawa. Yang saya tahu adalah, didalam GARBI ada bibit-bibit Soekarno, didalam GARBI ada bibit-bibit Muhammad al-Fatih, didalam GARBI ada bibit-bibit pemikiran yang mampu membawa Indonesia ke arah baru yang lebih baik.

28 Oktober 2018
Oleh: Mohamad Radytio (Pengamat Internasional)

0 comments:

Post a Comment