Monday 19 March 2018

Kebahagiaan dari Membantu Orang Lain

Halo sobat bloger yang berbahagia. Kali ini kang Romli akan berbagi sedikit tulisan. Tulisan ini terinspirasi dari beberapa artikel yang kang Romli baca. Semoga bermanfaat. Salam membaca itu nikmat. Apalagi menulis dan membagikannya, akan jauh lebih nikmat.

Saya pernah membaca sebuah kalimat dari seorang pepatah yang mengatakan, "Jika Kamu menginginkan kebahagiaan selama satu jam, tidur sianglah. Jika Kamu menginginkan kebahagiaan selama sehari, pergilah memancing. Jika Kamu menginginkan kebahagiaan selama setahun, dapatkan banyak uang. Jika Kamu menginginkan kebahagiaan seumur hidup, bantulah seseorang".

Sebuah kalimat yang sangat bermakna. Iyalah kebahagian yang hakiki ketika kita bisa membantu orang lain, memberikan manfaat kepada orang lain. Allah menciptakan kita di muka bumi ini berbeda-beda, Allah memberikan kelebihan kepada sebagian orang dan memberikan kekurangan kepada sebagian yang lain. Makna dari itu semua bukanlah untuk menjadikan orang yang berlebih tersebut menjadi sombong, namun agar keduanya bisa saling melengkapi, menciptakan keseimbangan.

Pertama kali yang harus kita akui nih sobat bahwa memberi itu lebih baik daripada menerima. Memberi akan membuat pelakunya mendapat sugesti yang sangat positif untuk merasakan kebahagiaan. Memberi atau membantu orang lain mungkin menjadi rahasia dalam menjalani kehidupan, namun dengan memberi akan memberikan kebahagiaan dan membuat kita merasa lebih berarti.

Tapi sobat, yang perlu diingat ketika kita membantu orang lain adalah bahwa jangan sampai apa yang kita lakukan itu membuat kita merasa sombong atau merasa lebih baik dari orang yang kita berikan bantuan. Ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, bisa jadi yang kita rasakan adalah justru kerugian. Rugi karena apa yang kita miliki jumlahnya akan berkurang. Nah, berkaitan dengan pernyataan yang terakhir ini kemudian saya akan membagikan beberapa tips agar aktivitas memberi itu tidak melahirkan perasaan rugi, justru sebaliknya.

Pertama,  temukan alasan kuat kenapa kita harus berbagi. Alasan ini bisa berupa ganjaran kebaikan, kebahagiaan orang lain, atau kebahagiaan yang muncul dalam diri kita ketika kita memberi kepada orang lain. Dengan alasan ini, kita akan merasa senang dan tidak merasa berat untuk berbagi dan memberi pertolongan. Ini bukan tentang seberapa banyak yang kita berikan, tapi seberapa besar cinta yang kita ikut sertakan dalam bantuan tersebut. Semakin besar cinta yang kita taruh, semakin besar jawaban atas alasan yang kita buat, dan akan semakin besar kebahagiaan yang akan kita rasakan.

Kedua, berikan waktu kita. Membantu dengan cara menghadirkan diri kita untuk turut serta menyelesaikan masalah misalnya. Hal ini seringkali lebih bernilai bagi orang lain dan lebih memuaskan bagi kita dibandingkan dengan hanya memberikan sejumlah uang. Uang yang kita miliki dengan uang yang dimiliki oleh orang lain jumlahnya tidaklah sama, namun waktu yang kita miliki akan tetap sama, kita bisa menyisihkan sedikit saja dari waktu kita untuk membantu teman, sahabat, atau orang lain. Hal itu tidak akan pernah menghabiskan waktu yang kita miliki, kita hanya butuh menyisihkan beberapa menit atau jam dalam sehari untuk bisa membantu orang lain.

Ketiga, mengetahui dengan jelas bantuan yang kita berikan akan dikemanakan. Misalnya ketika kita memberikan sumbangan kepada orang atau yayasan, kita akan lebih senang dan merasakan kebahagian serta kepuasan yang lebih besar ketika kita tahu uang kita misalnya, akan digunakan untuk apa. Daripada ketika kita hanya memberi sumbangan tanpa tahu bantuan yang kita berikan akan dikemanakan.

Keempat, mengintegrasikan kemampuan dan minat kita dengan kebutuhan orang lain. Kita tentu memiliki sesuatu hal yang kita senangi. Sesuatu yang rela kita lakukan walaupun akan mengambil banyak waktu, karena kita senang melakukannya. Misalnya saja  ketika kita memiliki keterampilan desain grafis, kita senang bergelut dengan software desain seperti coreldraw atau photoshop. Cobalah untuk membantu orang lain melalui keahlian yang kita miliki itu. Mungkin saja teman kita butuh dibuatkan desain pamflet atau sejenisnya. Dengan bantuan yang kita berikan, kita tidak hanya membuat orang lain senang, namun kita juga senang melakukannya karena itu merupakan hobi kita.

Kelima, bersikaplah proaktif, bukan reaktif. Artinya adalah kita berusaha untuk lebih peka dengan keadaan sekitar. Peka dengan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Dengan begitu kita akan merasa terpanggil dan berkewajiban untuk membantu, serta bantuan yang kita berikan akan lebih ringan untuk kita lakukan. Berbeda ketika kita bersikap reaktif, kita menunggu orang lain meminta pertolongan baru kita membantu. Bukan berarti hal ini akan membuat kita tidak memberikan bantuan. Tapi sikap ini kadang akan menjadikan kita merasa berat untuk melakukannya karena kita merasa terbebani. Terbebani karena orang lain yang datang meminta bantuan, bukan kita yang peka dengan lingkungan sekitar kita yang membutuhkan bantuan.

Keenam, membantulah dengan ikhlas. Sungguh mengerikan ketika kita selalu berfikir tentang apa yang kita dapatkan ketika kita memberi bantuan kepada orang lain. Berfikirlah bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan. Berharaplah balasan hanya dari Allah, jangan sekali-kali hanya berharap imbalan atau sekedar ucapan terima kasih dari orang lain. Sungguh balasan Allah akan jauh lebih besar dan tak terhingga bagi mereka yang ikhlas memberikan bantuan dan manfaat kepada orang lain.

Inti dari itu semua adalah bagaimana kita menemukan pendekatan yang paling pas dengan diri kita. Dengan pendekatan yang sesuai tersebut, akan lebih banyak yang bisa kita berikan, akan lebih jelas tujuan yang kita jadikan alasan, dan semakin besar kebahagiaan yang kita rasakan.
Sekali lagi semoga bermanfaat, jika ada kekurangan itu merupakan kesalahan dari diri saya pribadi. Mohon dimaafkan dan terima kasih. (RA)

Picture by jawaban.com

Thursday 1 March 2018

Menilik Kehidupan Petani Penggarap di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan

Beberapa waktu yang lalu, saya bersama dua orang sahabat di kampus mendapat ajakan seorang dosen dari jurusan akuntansi untuk terlibat dalam sebuah  penelitian tentang fenomena bagi hasil yang tejadi pada petani penggarap lahan pertanian. Dosen dari jurusan akuntansi yang yang berfokus pada akuntansi syariah tersebut ingin mengetahui pola bagi hasil pertanian yang terjadi di lapangan dalam perspektif akuntansi, terutama dalam penerapan prinsip keadilan dalam perspektif syariah.

Bersama-sama kami mengendarai sebuah mobil menuju kabupaten Barru, tepatnya kecamatan Tanete Rilau. Perjalanan dari kota Makassar menuju kabupaten Barru memakan waktu sekitar 2 jam. Sesampainya di lokasi kami langsung disambut oleh salah seorang ketua kelompok tani perempuan yang amat baik dan ramah. Tanpa banyak basa-basi kami pun dipersilakan untuk memasuki rumah beliau yang berbentuk rumah panggung khas suku Bugis.

Tak berselang lama, kemudian datang sekitar delapan orang bapak-bapak petani selaku petani penggarap yang akan menjadi narasumber dari wawancara penelitian kami. Duduk bersama di atas sebuah gubuk di dekat persawahan menambah asri suasana kala itu. Perkenalan ringan mengawali obrolan kami. Obrolan yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami butuhkan untuk memperoleh data dan keterangan dari para petani penggarap tersebut.

 Obrolan lepas yang tak terpatok pada skrip pertanyaan melahirkan banyak informasi-informasi yang tak terduga dan menambah wawasan kami tentang kehidupan mereka sebagai petani penggarap.

Kebanyakan kasus yang terjadi di lapangan, para petani penggarap merupakan kerabat dekat dari pemilik tanah. Namun tak jarang pula, hubungan dekat dan kepercayaan menjadi alasan para pemilik tanah menggarapkan tanahnya kepada orang lain. Kepercayaan menjadi modal utama untuk menjaga hubungan baik antara petani penggarap dan pemilik lahan, ungkap salah seorang petani.

Bermodalkan kepercayaan, seorang petani penggarap dapat mengelola tanah milik orang lain dengan waktu yang cukup lama hingga beberapa kali musim panen. Namun ada pula karena tidak adanya kepercayaan atau ketidakpuasan pemilik tanah terhadap hasil panen petani penggarap mengakibatkan hubungan antara keduanya berakhir pada saat berakhirnya musim panen yang pertama.

Tidak ada pencatatan biaya, tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh pemilik lahan, sekali lagi hanya kepercayaan yang mereka andalkan. Ini menjadi sesuatu yang menarik dan membuktikan bahwa masyarakat desa dengan kultur dan persaudaraan yang mereka junjung tinggi mampu meminimalisir prasangka-prasangka buruk terhadap sesamanya. Bahkan para petani penggarap sebenarnya sadar akan peluang mereka untuk berbuat curang amatlah terbuka lebar, namun kemudian mereka sadar bahwa hal tersebut merupakan tindakan tercela dan akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka selanjutnya.

Di sela-sela pembicaraan kadang mereka juga sedikit mengeluhkan pendapatan yang diperoleh dari hasil bertani sebagai petani penggarap. Hasil bertani yang harus dibagi dengan pemilik lahan serta dikurangi dengan biaya-biaya operasional sebenarnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya saja bagi mereka bisa bertani walaupun dengan menggarap tanah milik orang lain merupakan suatu kesyukuran.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, petani penggarap tidak bisa hanya mengandalkan dari hasil bertani. Kebanyakan dari mereka juga mempunyai pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang bangunan, beternak, bekerja di pabrik penggilingan padi dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan tersebut mereka lakukan di luar musim tanam dan musim panen. Sedangkan aktivitas memupuk dan pemberian racun terhadap hama dilakukan pada waktu senggang, misalnya pada sore hari atau pagi hari sebelum melakukan pekerjaan selain bertani.

Walaupun ada ungkapan yang mengatakan bahwa sebenarnya pendapatan dari bertani sebagai petani penggarap tidaklah mencukupi kebutuhan, namun rata-rata mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga tingkat menengah. Bahkan beberapa dari mereka mengaku bahwa anak mereka telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.

Dari hasil wawancara atau obrolan yang kami lakukan, kami dapat menarik salah satu kesimpulan bahwa sistem bagi hasil yang digunakan antara petani penggarap dan pemilik lahan adalah berdasarkan apa yang kita kenal dengan istilah “revenue sharing”, yaitu pembagian berdasarkan total hasil panen yang dihasilkan. Dengan ini berarti, dari hasil pembagian yang diterima oleh petani penggarap di dalamnya masih terdapat biaya-biaya operasional yang belum dikeluarkan, seperti biaya  pembelian bibit, upah alat untuk bajak sawah, upah orang untuk menanam padi, pupuk, racun hama, biaya panen, dan biaya angkut hasil panen ke tempat penyimpanan. Sistem bagi hasil berdasarkan revenue sharing inilah yang kemudian menjadikan proporsi bagi hasil untuk petani penggarap jauh lebih kecil dari pada yang didapatkan oleh pemilik lahan.

Terlepas dari itu semua, kita akui bahwa berkat tenaga dan keringat para petani kitalah butiran-butiran beras dihasilkan dan menjadi nasi seperti yang ada di meja makan kita saat ini. Kita sama-sama berdo’a semoga keberkahan senantiasa terlimpahkan dalam kehidupan mereka, agar anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, agar kesejahteraan dapat merata. Namun semua itu tentu membutuhkan peran semua pihak yang terkait, terkhusus pemerintah guna melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung berkembangnya pertanian di Indonesia.


~Romli Amrullah~