Saturday 10 February 2018

KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Manusia sebagi makhluk sosial tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas komunikasi di dalam kehidupannya. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri, sebab manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini senantiasa diperhadapkan dengan situasi dan kondisi yang menuntutnya untuk menjalin komunikasi dengan pihak lain. Lebih daripada itu, bagaimana kemudian Islam yang syumul atau menyeluruh dalam mengatur aspek kehidupan manusia memandang aktivitas komuniakasi ini. Apakah ada komunikasi yang beretika dan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits?.

Islam sebagai sebuah paket agama memiliki cakupan aturan yang sangat luas. Berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia di dunia ini telah disediakan norma, prinsip dan pedoman yang mengiringinya, termasuk di dalamnya adalah tentang komunikasi. Komuniaksi  itu sendiri memang tidak bisa disepelekan, kekeliruan dalam komunikasi atau biasa kita sebut dengan miscommunication akan mengakibatkan kesalahan persepsi dan bahkan akan berakibat fatal.

Komunikasi juga menjadi unsur yang sangat penting dalam menyampaikan dakwah atau dalam memimpin. Hal ini berkaitan dengan komunikan sebagai pihak yang menjadi objek komunikasi seorang muslim. Semakin senang dan tenang hati seseorang ketika mendengarkan apa yang kita sampaikan, maka akan lebih mudah apa yang disampaikan itu untuk mereka terima. Sebagaimana Rasulullah adalah seorang komunikator yang hebat, setiap pesan yang beliau sampaikan meninggalkan kesan di hati para sahabat, bahkan di hati kaum kafir yang nyata memusuhinya.

Kita ketahui bersama bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan karakter, sifat dan kepribadian yang berbeda. Inilah yang menjadi sebuah nikmat tersendiri di dalam Islam, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah tidak ada yang mengalami ketimpangan, selalu ada keseimbangan di dalamnya termasuk dalam urusan komunikasi. Islam mengatur tata cara bergaul yang benar agar seseorang dapat bersinergi dengan orang lain meskipun keduanya memiliki karakter, sifat dan kepribadian yang berbeda.

Membaca sebuah buku berjudul “Strategi Bisnis Bank Syariah” yang disusun oleh Ikatan Bankir Indonesia (IBI) dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan (LSPP), menyuguhkan satu bahasan menarik tentang Komunikasi Efektif. Dalam buku setebal 225 halaman itu, setidaknya disebutkan 6 bentuk komuniaksi efektif menurut perspektif Islam.

Pertama, Qaulan Kariiman (Perkataan Mulia). Seorang muslim dalam menyampaikan pesan kepada pihak lain harus menggunakan kata-kata yang mulia, menghindari kata-kata yang hina seperti mengejek dan mengolok-olok hingga menyakiti perasaan orang lain. Pesan yang disampaikan harus santun penuh penghormatan dan penghargaan, tidak menggurui, dan tidak perlu menggunakan retorika yang meledak-ledak.

Allah SWT, berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Kariiman - perkataan yang mulia” (Q.S. Al-Isra: 23).

Kedua, Qaulan Ma’rufan (Perkataan Baik). Bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (manfaat). Sebagai seorang muslim, lisan haruslah dijaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang diucapkan haruslah mengandung kebaikan, nasihat dan menyejukkan hati orang yang mendengarnya.

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa - perkataan yang baik (Q.S. An-Nisa: 8).

“Qaulan Ma’rufun - Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun” (Q.S. Al-Baqarah: 263).

Ketiga, Qaulan Sadidan (Lurus dan Benar). Kata “Sadid” menurut Bahasa berarti kalimat yang benar, tepat, dan tegas. Seorang pemimpin seyogyanya memberikan contoh dan tauladan bagaimana model komunikasi yang baik dengan berkata lurus dan benar.

Dari segi substansi, komunikasi berdasarkan prinsip Islam harus harus menyampaikan atau menginformasikan kebenaran, kejujuran, dan faktual. Tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari segi redaksi, komunikasi di dalam Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, dan sesuai dengan kaidah Bahasa yang berlaku.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah sesuatu dengan Qaulan Sadida - perkataan yang benar, lurus. (Q.S. Al-Ahzab: 70).

Keempat, Qaulan Balighan (Perkataan Tepat). Jalaludin Rahmat merinci pengertian Qaulan Baligha menjadi dua, qaulan baligha yang terjadi apabila dai (komunikator) menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya sesuai dengan frame of reference and field of experience. Kedua adalah qaulan baligha yang terjadi jika komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.

Jika dicermati, dari pengertian qaulan baligha yang diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud tersebut adalah komunikasi dengan menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah, dan tidak berbelit-belit. Agar komunikasi tepat sasaran, maka gaya Bahasa dan pesan yang disampaikan seharusnya disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan, dengan menggunakan Bahasa yang dimengerti oleh mereka.

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha - perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” (Q.S. An-Nisa: 63).

Kelima, Qaulan Mayura (Perkataan yang Mudah Dimengerti). Bermakna ucapan yang mudah, yaitu mudah dicerna, mudah dimengerti dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura - ucapan yang pantas/mudah (Q.S. Al-Isra: 28).

Keenam, Qaulan Layyinan (Perkataan Lemah Lembut). Bermakna lemah lembut dan tidak mengeraskan suara, seperti membentak atau meninggikan suara. Siapa pun tentu tidak suka jika ada orang yang berbicara dengan kata-kata yang kasar. Rasulullah selalu bertutur kata dengan lemah lembut sehingga setiap kata yang beliau ucapkan menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…” (Q.S. Thaha: 44).

Demikianlah 6 bentuk komunikasi yang dijelaskan dalam berjudul “Strategi Bisnis Bank Syariah”. Keenam bentuk komunikasi yang dijelaskan dalam buku tersebut sejatinya berfokus pada bagaimana seorang pimpinan bank syariah dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun, tentu saja bentuk komunikasi tersebut bisa diterapkan oleh siapa pun dan dalam posisi apa pun. Wallahu a’lam.


Sumber referensi: Buku Strategi Bisnis Bank Syariah – Ikatan Bankir Indonesia.

Thursday 1 February 2018

Puisi: Labuh Cinta Seorang Hamba

Mata terpejam berbalut mimpi
Menembus sukma di dalam dada
Menyingkap semua ilusi dunia
Membuka tabir indahnya syurga

Dalam lelap berselimut cinta
Dalam sujud berhias syahdu
Dalam do’a berlinang air mata
Rindu membalut ingin berjumpa

Merasuk hati layaknya cinta
Menghapus bayang fatamorgana
Lupa akan haus dan dahaga
Demi untuk meraih Ridha-Nya

Wahai hamba yang dicinta
Akankah mungkin engkau terlena
Dengan dunia yang akan sirna
Tak tersisa ditelan masa

Dialah seagung labuhan cinta
Mendekap indah dalam buaian takwa
Hadir dalam lantunan dzikir seorang hamba
Ikrar setia cintamu pada-Nya


Nb: Alhamdullillah puisi singkat inilah yang menjadi wasilah bagi saya untuk mendapatkan dua buah buku gratis. Segala puji hanya milik Allah.
#BookIsTheBestSurprise
#ALeaderIsAReader

Oooh Namaya GHARAR.. Baru Tahu..

Gharar???.. Mungkin tak semua paham atau bahkan tahu tentang sebuah konsep transaksi ini. Ya, termasuk saya yang baru sekitar tiga tahun lalu mengenal istilah ini. Sebuah istilah yang asing namun ternyata menyadarkan saya bahwa praktik dari gharar itu sendiri amatlah dekat dengan kehidupan saya sebelumnya.

Takdir memang selalu berbentuk sebuah rahasia, tak akan pernah diketahui sampai takdir itu menyapa dan menghampiri. Jauh dari angan-angan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi takdir berkata lain. Ia menghampiri dan mengajak saya untuk menikmati indahnya menuntut Ilmu lebih banyak lagi.

Diberi kesempatan untuk kuliah di fakultas ekonomi Unhas ternyata memberikan kesan tersendiri, kesan yang lain dibalik itu. Di sana saya mengenal sebuah organisasi keilmuan bernuansa keislaman. Sebagai mahasiswa ekonomi, tentu pembahasannya tak jauh dari kehidupan ekonomi. Tapi yang unik menurut saya, ekonomi yang dimaksud adalah ekonomi yang bersumber dan belandaskan atas hukum-hukum dan aturan Islam.

Singkat cerita dalam sebuah kajian yang bertemakan ekonomi islam, muncullah sebuah istilah yang belum pernah saya dengar sebelumnya, ya tentu saja istilah itu adalah “gharar”. Apa sih gharar?, muncullah pertanyaan itu di benak saya.

Usut punya usut, penjelasan demi penjelasan disampaikan oleh pemateri dan akhirnya saya paham. Daaaaaan, ternyata gharar pernah saya temui di daerah tempat tinggal saya. Yang mengejutkan lagi adalah ternyata praktik itu dilarang di dalam Islam.

Membeli buah yang masih ada di pohon, membeli ikan yang masih ada di kolam, atau membeli gabah yang masih belum di panen adalah contoh kasus yang pernah saya temui langsung. Kalian pernah?. Atau kalian mungkin sudah tau ya kalau itu dilarang, atau belum? Kenapa sih dilarang?.

Dalam Bahasa arab, kata gharar mempunyai arti menipu atau tipuan akibat adanya ketidak jelasan. Sedangkan menurut pengertian secara istilah, Al-Sarkhasi memberikan definisi gharar sebagai sesuatu yang tertutup akibatnya (tidak ada kejelasan).

Hal tersebut juga senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa gharar adalah sesuatu yang majhul (tidak diketahui (akibatnya).
Sedangkan Sayyid Sabiq mengartikan gharar sebagai penipuan yang mana denganya diperkirakan mengakibatkan tidak adanya kerelaan jika diteliti.

Dari beberapa definisi gharar tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa gharar dalam hal ini jual beli atau transaksi adalah transaksi yang didalamnya terdapat unsur ketidak jelasan, spekulasi, keraguan dan sejenisnya sehingga dari sebab adanya unsur-unsur tersebut mengakibatkan adanya ketidak relaan dalam bertransaksi.

Hmm.. Memang benar. Coba kita ilustrasikan transaksi tersebut dengan sebuah kasus. Misal si A ingin membeli buah mangga milik si B yang masih berada di atas pohon. Si A dengan kebiasaannya memperkirakan banyaknya mangga yang masih ada di pohon menetapkan jumlah perkiraan, dengan harapan akan ada selisih surplus yang ia dapatkan untuk memperoleh keuntungan. Begitu pula dengan si B, akan menyepakati perkiraan yang dibuat oleh si A apalbila ia (si B) merasa itu akan memberikan keuntungan baginya.

Adalah sebuah kewajaran bila kedua belah pihak mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut. Yang tidak wajar kemudian adalah apakah dapat dipastikan keduanya akan mendapatkan keuntungan dan merasa puas dengan keuntungan tersebut apabila buah mangga itu telah dipetik dan diketahui jumlahnya yang sesugguhnya?. Di sana lah letak ketidak pastian itu. Tidak pasti apakah si A akan memperoleh untung banyak, tidak pasti apakah si B juga diuntungkan, terlebih lagi jika muncul rasa ketidak adilan dan ketidak relaan dari pihak yang merasa keuntungannya sedikit.

Demikian sempurnanya Islam yang mengatur segala hal dalam kehidupan ini. Islam menjamin keadilan dan ketenangan dari setiap pemeluknya, bagi setiap pelaku jual beli. Islam sangat mendukung aktivitas jual beli dan mendapatkan keuntungan darinya, namun tentu saja harus dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan rasa ketidak puasan dari salah satu pihak yang terlibat di dalamnya.  

Solusi dari permasalahan ketidak jelasan tersebut adalah dengan memastikan kuantitas maupun kualitas dari objek yang akan diperjual belikan. Selanjutnya kedua belah pihak membuat kesepakatan atas harga dari barang tersebut sehingga tidak ada kekecewaan maupun rasa ketidak adilan dalam transaksi tersebut.


Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan yang batil. (Q.S. Al-Baqarah: 188).

Ekonomi Konvensional vs Ekonomi Syariah. Kamu, yang mana?

Ekonomi memang selalu menarik untuk diperbincangkan, oleh siapa pun dan apapun profesinya. Pasalnya, manusia memang tidak akan pernah bisa lepas dari usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang menarik ketika kita berbicara tentang sistem ekonomi. Tentang apa yang dikatakan sebagai sistem ekonomi konvensional dan sistem Ekonomi Syariah.

Kata konvensional sendiri diartikan sebagai sesuatu yang  sifatnya mengikuti adat atau kebiasaan yang umum atau lazim digunakan. Dan ketika kita membicarakan sistem ekonomi modern  yang umum dan lazim digunakan di dunia, maka kita akan merujuk pada dua sistem besar yaitu kapitalisme pasar dan sosialisme terpimpin. Itulah kenapa  dua sistem ekonomi ini kemudian kita sebut sebagai sistem ekonomi konvensional.

Akan tetapi ada satu hal yang perlu diingat dalam fakta ini, bahwa adanya dua sistem besar dalam sistem ekonomi modern tidak berarti adanya dikotomi. Dua sistem tersebut tidak lebih merupakan dua titik ekstrem dalam sebuah koridor  ide. Yaitu dalam praktiknya, sistem ekonomi yang diterapkan di berbagai negara di dunia saat ini  lebih banyak berada pada koridor tersebut. Lalu, dimaknakah letak dari Ekonomi Syariah itu sendiri?.

Berbicara tentang Ekonomi Syariah dalam kaitannya dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme  bukanlah soal “apakah Ekonomi Syariah itu masuk dalam kategori sosialisme atau kapitalisme”. Tapi lebih kepada “di mana ia berada dalam dua koridor tersebut”. Apakah ada perbedaan dari apa yang ditawarkan  oleh Ekonomi Syariah dibandingjkan  dengan dua sistem tersebut?. Mari kita bahas satu per satu.

Pertama,  Sistem Ekonomi Kapitalis. Kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi muncul pada abad ke-16 yang didorong oleh Revolusi Industri yang terjadi di Eropa. Proses terjadinya cepat dan dan inilah kemudian yang memumnculkan Adam Smith sebagai Bapak Ekonomi Modern dan  Bapak Kapitalisme. Meskipun sebenarnya lahirnya sistem ekonomi kapitalis merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikiran dan perekonomian di Eropa pada masa sebelumnya, yaitu era merkantilisme.

Veithzal Rifai dan Andi Muchari dalam bukunya Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi, menyebutkan ciri-ciri dari sistem ekonomi kapitalis yaitu kebebasan memiliki harta secara perorangan, adanya persaingan bebas atau free competition, kebebasan penuh terhadap individu, mementingkan diri sendiri, Mekanisme harga pasar sebagai penentu serta minimnya campur tangan pemerintah di dalamnya.

Namun demikian, Umer Chapra mengatakan bahwa dalam dunia nyata kapitalisme tidak memiliki bentuk yang tunggal. Dimana kapitalisme sering kali memiliki bentuk yang berbeda di antara negara-negara yang menerapkannya. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu  adanya ragam pendapat dari berbagai pemikir yang akan mempengaruhi aplikasi sistem kapitalis yang diterapkan dan juga akibat dari definisi kapitalisme itu sendiri yang selalu berubah-ubah.

Di luar daripada itu semua, Veithzal Rifai dan Andi Buchari menyebutkan beberapa hal yang menjadi dampak positif dari sistem ekonomi kapitalis yaitu, (1) Setiap individu selalu berusaha untuk melakukan aktivitas ekonomi yang paling efisien bagi dirinya dan kelompoknya, (2) Persaingan bebas yang ada akan mewujudkan produksi dan harga ke tingkat wajar dan rasional, serta (3) mendorong pelaku ekonomi mencapai prestasi terbaik, melalui kegiatan ekonomi yang paling efisien.

Selain dampak positif, mereka juga menyebutkan beberapa dampak negative dari sistem ekonomi kapitalis terhadap perekonomian yaitu, (1) Terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat karena penumoukan harta yang terjadi pada sebagian individu atau kelompok, (2) adanya sikap individualism yang mengakibatkan ketidakpedulian individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain, (3) segala sesuatu selalu dilihat dari aspek ekonomi sehingga memunculkan distorsi pada nilai-nilai moral, etika dan agama, serta (4) ketimpangan dan distribusi kekayaan yang tidak merata mengakibatkan pertentangan antar kelas.

Kedua, Sistem Ekonomi Sosialis. Sisteme ini lahir sebagai bentuk keprihatinan Karl Marx atas munculnya penderitaan dalam masyarakat, di mana kemudian terjadi akumulasi atau pengisapan modal oleh sekelompok golongan tertentu dalam sistem ekonomi kapitalis.
Sistem ekonomi kapitalis muncul pada abad ke-20, pada saat itu mekanisme pasar yang ditawarkan oleh sistem ekonomi kapitalis ternyata tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

 Masih dari Veithzal Rifai dan Andi Muchari dalam bukunya Islamic Economics: Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tetapi Solusi, menyebutkan ciri-ciri dari sistem ekonomi sosialis yaitu, kepemilikan harta dikuasai oleh negara sedangkan kepemilikan pribadi tidak diakui, setiap individu memiliki kesamaan kesempatan dalam melakukan aktifitas ekonomi, penerapan sistem komando dari pemerintah, tiap warga negara dipenuhi kebutuhan pokoknya oleh negara, proyek pembangunan dilakukan oleh negara dan tidak memberikan kesempatan kepada swasta, serta posisi tawar menawar individu yang sangat terbatas karena negara menjadi kunci utama dalam perekonomian.

Dampak positif sistem ekonomi sosialis menurut Veithzal Rifai dan Andi Muchari adalah, (1) nasib kaum lemah atau marjinal sangat diperhatikan, (2) tidak terjadi pengangguran di dalam masyarakat, serta (3) terciptanya kemakmuran yang merata akibat diberikannya pemerataan kesempatan kepada setiap individu dalam perekonomian.

Sementara itu, beberapa kekurangan dari sistem ekonomi sosialis adalah, (1) menghilangkan kebebasan untuk berkreasi dari warga negaranya sebab segala kebijakan terpusat pada negara, (2) kepemilikan individu tidak diakui sehingga tidak memiliki kebebasan untuk memiliki harta dan kekayaan, (3) kemerataan yang sifatnya absolut dan kepemilikan individu yang tidak diakui menyebabkan hilangnya motivasi bekerja bagi individu, serta (4) penguasaan harta oleh negara ternyata mengakibatkan penumpukan harta dan modal pada kelompok penguasa.

Ketiga, Sistem Ekonomi Syariah. Sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme yang telah gagal menciptakan kesejahteraan masyarakat mengharuskan adanya suatu pemecahan. Atas dasar inilah kemudian negara-negara muslim mulai terfikir akan kesempurnaan agama Islam. Bahwa Islam tentu tidak hanya memberikan penganutnya aturan sosial ketuhanan dan keimanan, melainkan juga jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia, termasuk ekonomi.

Sistem Ekonomi Syariah itu sendiri merupakan ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam ranah konkret sehari-harinya bagi individu, kelompok masyarakat, maupun pemerintah  dalam rangka mengorganisasi factor produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan dengan tunduk dalam peraturan Islam (sunnatullah).

Sistem Ekonomi Syariah adalah sebuah sistem ekonomi yang berdiri sendiri dan terlepas dari sistem ekonomi yang lain. Berikut adalah beberapa hal yang membedakan sistem Ekonomi Syariah dengan sistem ekonomi yang lain, seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, S.E. yaitu terletak pada, (1) asumsi dasar/norma pokok ataupun aturan main dalam proses maupun interaksi kegiatan ekonomi yang diberlakukan, (2) prinsip Ekonomi Syariah adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan tetap menjaga kelestarian alam, (3) motif Ekonomi Syariah adalah mencari keberuntungan di dunia dan di akhirat selaku khalifatullah.

Ekonomi Syariah menawarkan berbagai hal berikut pertama, Ekonomi Syariah ingin mencapai masyarakat yang berkehidupan sejahtera di dunia dan di akhirat. Kedua, tercapainya pemuasan optimal berbagai kebutuhan jasmani dan rohani yang seimbang, baik bagi individu maupun masyarakat. Ketiga, hak milik relatife perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang bermanfaat pula. Keempat, dilarang menimbun harta benda dan membiarkannya terlantar. Kelima, dalam harta benda tersebut terdapat hak orang miskin. Keenam, pada batas waktu tertentu hak milik tersebut dikenakan zakat. Ketujuh, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang. Kedelapan, tidak ada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama, dan yang menjadi ukuran perbedaan hanyalah prestasi kerja.

Sumber utama:  Dasar-dasar Ekonomi Islam oleh M. Nur Rianto Al-Arif (Lecturer of State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta).