Tuesday 29 May 2018

Sejatinya Yang Berbeda Itu Adalah Sama


Berawal dari ketiadaan. Segumpal daging yang menempel bersama dengan tulang yang lembut di dalam Rahim seorang yang mulia dan harus dihormati serta ditaati. Ialah si jabang bayi, yang oleh Allah dipersaksikan langsung di hadapan-Nya. Persaksian yang akan menandai kesiapannya dalam mengemban tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi ini. Ialah Allah yang dengan tegas mengajukan pertanyaan kepada calon-calon manusia penghuni Rahim, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Dengan yakin dan percaya diri ia pun mejawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.

Sungguh manusia adalah makhluk yang amat bodoh, bagi sebagian orang, mereka bodoh karena bersedia mengemban amanah menjadi khalifah di muka bumi ini. Saat langit, bumi dan gunung menolak untuk mengemban amanah selayaknya apa yang diberikan kepada manusia. Namun sungguh, itu bukanlah suatu kebodohan. Itu adalah bukti keberanian yang sejalan dengan maksud Allah menciptakan manusia di muka bumi ini. Allah menciptakan manusia memang untuk menjadi khalifah, menjadi pengatur di muka bumi. Bukan langit, gunung, atau bumi itu sendiri.

Berangkat dari sebuah persaksian, manusia ditempatkan pada alam yang sama, memiliki status yang sama sebagai manusia dan hamba Allah swt. Tidak ada manusia yang dilahirkan dalam kondisi sebagai orang yang luar biasa. Sewajarnya, manusia dilahirkan dengan kondisi yang sama. Polos, tanpa kemampuan dan daya untuk berusaha. Orang-orang disekitarnyalah yang memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Hanyalah isyarat dengan tangis yang mampu ia pertunjukkan.

Akankah kita menyadari itu, bahwa kita adalah satu. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Semua, bukan untuk golongan atau keturunan tertentu. Semua Allah ciptakan  sebagai hamba-Nya, memiliki kesempatan yang sama dan balasan yang sama. Ada balasan dari setiap kebaikan yang dilakukan, ada pula balasan bagi setiap keburukan yang digoreskan. Berlaku bagi siapapun, raja, presiden, menteri, pengusaha, akademisi, petani, pemulung, dan lainnya.

Dalam setiap persamaan dan penyetaraan itu, ada dua hal yang menjadi pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Ialah hati dan amal sholeh, yang menjadikan manusia lebih mulia dibandingkan dengan malaikat, atau menjadikannya hina dibandingkan dengan binatang ternak. Ialah hati, yang menjadi kunci diterimanya sebuah penghambaan. Di sana terletak niat, di sana bersemayam godaan duniawi, di sana pula bertahta impian akhirat yang mulia. Sedang amal sholeh, menjadi bukti atas setiap kata yang berbalut iman di dalam hati. Menjadi ungkapan rasa syukur atas setiap nikmat, menjadi bukti ketakutan akan ancaman dan kebesaran Allah swt.

Ialah diri, yang hina dan penuh dengan keterbatasan. Tak ada satu hal pun yang pantas untuk dibanggakan di hadapan orang lain, apatah lagi di hadapan Allah swt. Asal kita sama, tempat kembali kita pun tak ada yang berbeda. Terbungkus secarik kain dalam lubang sempit tanpa celah di sisi-sisinya. Adanya perbedaan di kehidupan ini, adalah cara Allah agar manusia saling mengenal dan melengkapi, saling berbagi dan menjalin silaturahmi. Bukan untuk saling berbangga dan meninggikan hati.


Dari sini kita mengambil pelajaran, bahwa dengan adanya perbedaan seharusnya manusia saling melengkapi, saling memberikan warna, bersama dan bersatu agar menjadi kuat, juga untuk menciptakan keindahan. Bukankah pelangi itu berbeda-beda, dan karena perbedaan itu ia indah. Bukankah kopi akan terasa pahit jika tak bersama-sama dengan gula. Gula juga tak akan nikmat jika hanya sendiri. Namun, ketika perbedaan itu disatukan, akan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti dan disukai banyak orang.

R.A.

2 comments:

  1. Bagus gan dari isi dan judul keseluruhan artikel di blog agan dan bermanfaat untuk dibaca, semoga kedepannya sukses yaa gan.

    Ooh yaa, jangan lupa mampir ke blog ane juga hehehe... Itupun kalau tertarik hehehe..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin.. Makasih banyak masukan dan doa nya.. Sukses jg gan..

      Delete