Friday 18 August 2017

Tentang C.I.N.T.A


Manusia terlahir dengan dianugerahi beribu nikmat oleh Sang Pencipta. Tugas kita bukan menghitungnya, karena  hal itu mustahil bagi kita. Tugas kita adalah bersyukur dan menggunakan nikmat itu pada apa yang Dia kehendaki. Menggunakan nikmat itu untuk sebaik dan sebanyak-banyaknya manfaat.

Salah satu nikmat yang oleh Sang Pencipta dianugerahkan kepada manusia yaitu perasaan. Sebuah keadaan batin yang bisa mengantarkan manusia pada posisi yang mulia, namun juga bisa mengantarkannya pada seburuk-buruk keadaan.

Takabur, riya’, ujub, sum’ah, hasad, dan penyakit hati lainnya adalah buah dari perasaan yang dimiliki oleh manusia namun dia tidak mampu mempergunakannya pada apa yang diperbolehkan oleh Sang Pencipta.

Cinta, juga buah dari perasaan. Dengan cinta, menjadikan seorang ibu mampu membesarkan dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Dengan cinta, menjadikan seorang anak bangga pada setiap kondisi orang tuanya. Dengan cinta pula, menjadikan seorang ayah rela bekerja bersusah payah demi keluarganya.

Lalu bagaimana jika cinta itu tumbuh pada ia yang bukan siapa-siapa?. Pada ia yang tanpa sengaja menarik hati kita. Mungkin karena ketampanan atau kecantikan rupanya, mungkin karena uluran jilbab panjangnya, mungkin karena rapi pakaian dan keshalehannya, mungkin karena indah tutur katanya, atau mungkin karena merdu bacaan qur’an dan hafalannya.

Wajarlah jika manusia memiliki perasaan yang demikian, karena memang manusia cenderung menyukai apa yang ia anggap indah di matanya, terlebih jika perasaan telah memainkan perannya.
Menyukai sesuatu yang indah lagi baik tak jadi masalah. Jika itu menjadikanmu alasan untuk memperbaiki diri dan terus berubah. Menjadikannya teladan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Namun apa yang terjadi jika perasaan suka itu berubah menjadi kagum dan kekaguman itu berubah menjadi cinta, rasa untuk memiliki. Sampai saat yang demikian masihlah wajar. Karena kembali lagi, fitrah manusia adalah cenderung mencari yang baik dan terbaik untuk dirinya.

Yang salah kemudian adalah jika perasaan itu mengalir dan terus mengalir tanpa batas seperti air yang tumpah dalam tanah yang datar, menyebar ke segala arah. Menjadikannya tidak bermakna dan berlalu dengan sia-sia. Hanya meninggalkan bekas sesaat dan tak bertahan lama. Itulah cinta yang tak terjaga, tertuang dalam ranah tak terbatas.

Ada kalanya cinta mengalir dengan tetap terjaga, namun tak berujung. Seperti air mengalir pada sungai yang panjang, berhasil melewati bebatuan dan segala halang rintang, namun tak tau kapan ia akan sampai di penghujung perjuangan.

Inilah cinta kepada makhluk, mudah untuk tumbuh namun sulit untuk menjaganya. Oleh karena itu, Dia yang maha tahu telah menuangkan pengajaran-Nya pada lembaran-lembaran suci yang dibawa oleh kekasih-Nya, Muhammad SAW.

Melalui kekasih dan firman-Nya Dia memerintahkan mereka yang telah sanggup, untuk menyalurkan cintanya pada ikatan yang suci. Ikatan yang tak hanya menjadikan cinta itu indah, namun juga diberkahi oleh-Nya. Agar cinta itu mengalir, juga seperti air yang mengalir pada sungai yang panjang, juga akan menemui bebatuan dan halang rintangnya, namun cinta itu telah punya arah, tahu kemana dia akan mengalir, dan tahu dimana dia akan bermuara. Dengan mengikat ia pada ikatan yang suci, juga akan menjaga dirinya dari pandangan dan kejahatan nafsunya.

Dan sungguh mulia ajaran yang dibawanya, sungguh indah cara yang Ia berikan bagi mereka yang belum memiliki kesanggupan. Ya, puasa menjadi solusinya. Dengannya, tak hanya nafsu dan perasaan yang akan terjaga. Namun dengannya Ia memberi pengajaran yang jauh lebih dalam, agar mereka yang belum mampu menjalankan sunnahnya untuk mengikat cinta pada ikatan yang suci, bisa memantaskan diri dan meningkatkan takwanya kepada Sang Pencipta. Karena sesungguhnya cinta-Nya kepada kita jauh lebih besar daripada cinta kita kepada makhluk-Nya. Maka seharusnya, tak ada cinta yang boleh kita miliki melebihi cinta kita kepada-Nya, Dialah cinta pertama.

“Karena cinta tak akan pernah merusak apa yang dicintainya, dia akan menjaga dan memeliharanya, sampai tak bisa lagi ada  cinta di hatinya”

 “Jika seorang hamba mengikat cintanya pada ikatan yang suci, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa”. (Muhammad SAW).

~Romli Amrullah~

0 comments:

Post a Comment