Thursday 1 February 2018

Oooh Namaya GHARAR.. Baru Tahu..

Gharar???.. Mungkin tak semua paham atau bahkan tahu tentang sebuah konsep transaksi ini. Ya, termasuk saya yang baru sekitar tiga tahun lalu mengenal istilah ini. Sebuah istilah yang asing namun ternyata menyadarkan saya bahwa praktik dari gharar itu sendiri amatlah dekat dengan kehidupan saya sebelumnya.

Takdir memang selalu berbentuk sebuah rahasia, tak akan pernah diketahui sampai takdir itu menyapa dan menghampiri. Jauh dari angan-angan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi takdir berkata lain. Ia menghampiri dan mengajak saya untuk menikmati indahnya menuntut Ilmu lebih banyak lagi.

Diberi kesempatan untuk kuliah di fakultas ekonomi Unhas ternyata memberikan kesan tersendiri, kesan yang lain dibalik itu. Di sana saya mengenal sebuah organisasi keilmuan bernuansa keislaman. Sebagai mahasiswa ekonomi, tentu pembahasannya tak jauh dari kehidupan ekonomi. Tapi yang unik menurut saya, ekonomi yang dimaksud adalah ekonomi yang bersumber dan belandaskan atas hukum-hukum dan aturan Islam.

Singkat cerita dalam sebuah kajian yang bertemakan ekonomi islam, muncullah sebuah istilah yang belum pernah saya dengar sebelumnya, ya tentu saja istilah itu adalah “gharar”. Apa sih gharar?, muncullah pertanyaan itu di benak saya.

Usut punya usut, penjelasan demi penjelasan disampaikan oleh pemateri dan akhirnya saya paham. Daaaaaan, ternyata gharar pernah saya temui di daerah tempat tinggal saya. Yang mengejutkan lagi adalah ternyata praktik itu dilarang di dalam Islam.

Membeli buah yang masih ada di pohon, membeli ikan yang masih ada di kolam, atau membeli gabah yang masih belum di panen adalah contoh kasus yang pernah saya temui langsung. Kalian pernah?. Atau kalian mungkin sudah tau ya kalau itu dilarang, atau belum? Kenapa sih dilarang?.

Dalam Bahasa arab, kata gharar mempunyai arti menipu atau tipuan akibat adanya ketidak jelasan. Sedangkan menurut pengertian secara istilah, Al-Sarkhasi memberikan definisi gharar sebagai sesuatu yang tertutup akibatnya (tidak ada kejelasan).

Hal tersebut juga senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa gharar adalah sesuatu yang majhul (tidak diketahui (akibatnya).
Sedangkan Sayyid Sabiq mengartikan gharar sebagai penipuan yang mana denganya diperkirakan mengakibatkan tidak adanya kerelaan jika diteliti.

Dari beberapa definisi gharar tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa gharar dalam hal ini jual beli atau transaksi adalah transaksi yang didalamnya terdapat unsur ketidak jelasan, spekulasi, keraguan dan sejenisnya sehingga dari sebab adanya unsur-unsur tersebut mengakibatkan adanya ketidak relaan dalam bertransaksi.

Hmm.. Memang benar. Coba kita ilustrasikan transaksi tersebut dengan sebuah kasus. Misal si A ingin membeli buah mangga milik si B yang masih berada di atas pohon. Si A dengan kebiasaannya memperkirakan banyaknya mangga yang masih ada di pohon menetapkan jumlah perkiraan, dengan harapan akan ada selisih surplus yang ia dapatkan untuk memperoleh keuntungan. Begitu pula dengan si B, akan menyepakati perkiraan yang dibuat oleh si A apalbila ia (si B) merasa itu akan memberikan keuntungan baginya.

Adalah sebuah kewajaran bila kedua belah pihak mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut. Yang tidak wajar kemudian adalah apakah dapat dipastikan keduanya akan mendapatkan keuntungan dan merasa puas dengan keuntungan tersebut apabila buah mangga itu telah dipetik dan diketahui jumlahnya yang sesugguhnya?. Di sana lah letak ketidak pastian itu. Tidak pasti apakah si A akan memperoleh untung banyak, tidak pasti apakah si B juga diuntungkan, terlebih lagi jika muncul rasa ketidak adilan dan ketidak relaan dari pihak yang merasa keuntungannya sedikit.

Demikian sempurnanya Islam yang mengatur segala hal dalam kehidupan ini. Islam menjamin keadilan dan ketenangan dari setiap pemeluknya, bagi setiap pelaku jual beli. Islam sangat mendukung aktivitas jual beli dan mendapatkan keuntungan darinya, namun tentu saja harus dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan rasa ketidak puasan dari salah satu pihak yang terlibat di dalamnya.  

Solusi dari permasalahan ketidak jelasan tersebut adalah dengan memastikan kuantitas maupun kualitas dari objek yang akan diperjual belikan. Selanjutnya kedua belah pihak membuat kesepakatan atas harga dari barang tersebut sehingga tidak ada kekecewaan maupun rasa ketidak adilan dalam transaksi tersebut.


Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan yang batil. (Q.S. Al-Baqarah: 188).

0 comments:

Post a Comment