Gharar???.. Mungkin tak semua paham atau bahkan tahu
tentang sebuah konsep transaksi ini. Ya, termasuk saya yang baru sekitar tiga
tahun lalu mengenal istilah ini. Sebuah istilah yang asing namun ternyata
menyadarkan saya bahwa praktik dari gharar itu sendiri amatlah dekat dengan
kehidupan saya sebelumnya.
Takdir memang selalu berbentuk sebuah rahasia, tak akan
pernah diketahui sampai takdir itu menyapa dan menghampiri. Jauh dari
angan-angan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi takdir
berkata lain. Ia menghampiri dan mengajak saya untuk menikmati indahnya
menuntut Ilmu lebih banyak lagi.
Diberi kesempatan untuk kuliah di fakultas ekonomi Unhas
ternyata memberikan kesan tersendiri, kesan yang lain dibalik itu. Di sana saya
mengenal sebuah organisasi keilmuan bernuansa keislaman. Sebagai mahasiswa
ekonomi, tentu pembahasannya tak jauh dari kehidupan ekonomi. Tapi yang unik
menurut saya, ekonomi yang dimaksud adalah ekonomi yang bersumber dan
belandaskan atas hukum-hukum dan aturan Islam.
Singkat cerita dalam sebuah kajian yang bertemakan ekonomi
islam, muncullah sebuah istilah yang belum pernah saya dengar sebelumnya, ya
tentu saja istilah itu adalah “gharar”. Apa sih gharar?, muncullah pertanyaan
itu di benak saya.
Usut punya usut, penjelasan demi penjelasan disampaikan oleh
pemateri dan akhirnya saya paham. Daaaaaan, ternyata gharar pernah saya temui
di daerah tempat tinggal saya. Yang mengejutkan lagi adalah ternyata praktik
itu dilarang di dalam Islam.
Membeli buah yang masih ada di pohon, membeli ikan yang
masih ada di kolam, atau membeli gabah yang masih belum di panen adalah contoh
kasus yang pernah saya temui langsung. Kalian pernah?. Atau kalian mungkin
sudah tau ya kalau itu dilarang, atau belum? Kenapa sih dilarang?.
Dalam Bahasa arab, kata gharar mempunyai arti menipu atau
tipuan akibat adanya ketidak jelasan. Sedangkan menurut pengertian secara
istilah, Al-Sarkhasi memberikan definisi gharar sebagai sesuatu yang tertutup
akibatnya (tidak ada kejelasan).
Hal tersebut juga senada dengan apa yang diungkapkan oleh
Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa gharar adalah sesuatu yang majhul (tidak
diketahui (akibatnya).
Sedangkan Sayyid Sabiq mengartikan gharar sebagai penipuan
yang mana denganya diperkirakan mengakibatkan tidak adanya kerelaan jika
diteliti.
Dari beberapa definisi gharar tersebut, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa gharar dalam hal ini jual beli atau transaksi adalah transaksi
yang didalamnya terdapat unsur ketidak jelasan, spekulasi, keraguan dan
sejenisnya sehingga dari sebab adanya unsur-unsur tersebut mengakibatkan adanya
ketidak relaan dalam bertransaksi.
Hmm.. Memang benar. Coba kita ilustrasikan transaksi
tersebut dengan sebuah kasus. Misal si A ingin membeli buah mangga milik si B
yang masih berada di atas pohon. Si A dengan kebiasaannya memperkirakan
banyaknya mangga yang masih ada di pohon menetapkan jumlah perkiraan, dengan
harapan akan ada selisih surplus yang ia dapatkan untuk memperoleh keuntungan. Begitu
pula dengan si B, akan menyepakati perkiraan yang dibuat oleh si A apalbila ia
(si B) merasa itu akan memberikan keuntungan baginya.
Adalah sebuah kewajaran bila kedua belah pihak mengharapkan
keuntungan dari transaksi tersebut. Yang tidak wajar kemudian adalah apakah
dapat dipastikan keduanya akan mendapatkan keuntungan dan merasa puas dengan
keuntungan tersebut apabila buah mangga itu telah dipetik dan diketahui jumlahnya
yang sesugguhnya?. Di sana lah letak ketidak pastian itu. Tidak pasti apakah si
A akan memperoleh untung banyak, tidak pasti apakah si B juga diuntungkan, terlebih
lagi jika muncul rasa ketidak adilan dan ketidak relaan dari pihak yang merasa
keuntungannya sedikit.
Demikian sempurnanya Islam yang mengatur segala hal dalam
kehidupan ini. Islam menjamin keadilan dan ketenangan dari setiap pemeluknya,
bagi setiap pelaku jual beli. Islam sangat mendukung aktivitas jual beli dan
mendapatkan keuntungan darinya, namun tentu saja harus dengan cara yang baik
dan tidak menimbulkan rasa ketidak puasan dari salah satu pihak yang terlibat
di dalamnya.
Solusi dari permasalahan ketidak jelasan tersebut adalah
dengan memastikan kuantitas maupun kualitas dari objek yang akan diperjual
belikan. Selanjutnya kedua belah pihak membuat kesepakatan atas harga dari
barang tersebut sehingga tidak ada kekecewaan maupun rasa ketidak adilan dalam
transaksi tersebut.
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian dari
yang lain diantara kamu dengan yang batil. (Q.S. Al-Baqarah: 188).
0 comments:
Post a Comment