Thursday 1 March 2018

Menilik Kehidupan Petani Penggarap di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan

Beberapa waktu yang lalu, saya bersama dua orang sahabat di kampus mendapat ajakan seorang dosen dari jurusan akuntansi untuk terlibat dalam sebuah  penelitian tentang fenomena bagi hasil yang tejadi pada petani penggarap lahan pertanian. Dosen dari jurusan akuntansi yang yang berfokus pada akuntansi syariah tersebut ingin mengetahui pola bagi hasil pertanian yang terjadi di lapangan dalam perspektif akuntansi, terutama dalam penerapan prinsip keadilan dalam perspektif syariah.

Bersama-sama kami mengendarai sebuah mobil menuju kabupaten Barru, tepatnya kecamatan Tanete Rilau. Perjalanan dari kota Makassar menuju kabupaten Barru memakan waktu sekitar 2 jam. Sesampainya di lokasi kami langsung disambut oleh salah seorang ketua kelompok tani perempuan yang amat baik dan ramah. Tanpa banyak basa-basi kami pun dipersilakan untuk memasuki rumah beliau yang berbentuk rumah panggung khas suku Bugis.

Tak berselang lama, kemudian datang sekitar delapan orang bapak-bapak petani selaku petani penggarap yang akan menjadi narasumber dari wawancara penelitian kami. Duduk bersama di atas sebuah gubuk di dekat persawahan menambah asri suasana kala itu. Perkenalan ringan mengawali obrolan kami. Obrolan yang secara tidak langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami butuhkan untuk memperoleh data dan keterangan dari para petani penggarap tersebut.

 Obrolan lepas yang tak terpatok pada skrip pertanyaan melahirkan banyak informasi-informasi yang tak terduga dan menambah wawasan kami tentang kehidupan mereka sebagai petani penggarap.

Kebanyakan kasus yang terjadi di lapangan, para petani penggarap merupakan kerabat dekat dari pemilik tanah. Namun tak jarang pula, hubungan dekat dan kepercayaan menjadi alasan para pemilik tanah menggarapkan tanahnya kepada orang lain. Kepercayaan menjadi modal utama untuk menjaga hubungan baik antara petani penggarap dan pemilik lahan, ungkap salah seorang petani.

Bermodalkan kepercayaan, seorang petani penggarap dapat mengelola tanah milik orang lain dengan waktu yang cukup lama hingga beberapa kali musim panen. Namun ada pula karena tidak adanya kepercayaan atau ketidakpuasan pemilik tanah terhadap hasil panen petani penggarap mengakibatkan hubungan antara keduanya berakhir pada saat berakhirnya musim panen yang pertama.

Tidak ada pencatatan biaya, tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh pemilik lahan, sekali lagi hanya kepercayaan yang mereka andalkan. Ini menjadi sesuatu yang menarik dan membuktikan bahwa masyarakat desa dengan kultur dan persaudaraan yang mereka junjung tinggi mampu meminimalisir prasangka-prasangka buruk terhadap sesamanya. Bahkan para petani penggarap sebenarnya sadar akan peluang mereka untuk berbuat curang amatlah terbuka lebar, namun kemudian mereka sadar bahwa hal tersebut merupakan tindakan tercela dan akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka selanjutnya.

Di sela-sela pembicaraan kadang mereka juga sedikit mengeluhkan pendapatan yang diperoleh dari hasil bertani sebagai petani penggarap. Hasil bertani yang harus dibagi dengan pemilik lahan serta dikurangi dengan biaya-biaya operasional sebenarnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya saja bagi mereka bisa bertani walaupun dengan menggarap tanah milik orang lain merupakan suatu kesyukuran.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, petani penggarap tidak bisa hanya mengandalkan dari hasil bertani. Kebanyakan dari mereka juga mempunyai pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang bangunan, beternak, bekerja di pabrik penggilingan padi dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan tersebut mereka lakukan di luar musim tanam dan musim panen. Sedangkan aktivitas memupuk dan pemberian racun terhadap hama dilakukan pada waktu senggang, misalnya pada sore hari atau pagi hari sebelum melakukan pekerjaan selain bertani.

Walaupun ada ungkapan yang mengatakan bahwa sebenarnya pendapatan dari bertani sebagai petani penggarap tidaklah mencukupi kebutuhan, namun rata-rata mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga tingkat menengah. Bahkan beberapa dari mereka mengaku bahwa anak mereka telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.

Dari hasil wawancara atau obrolan yang kami lakukan, kami dapat menarik salah satu kesimpulan bahwa sistem bagi hasil yang digunakan antara petani penggarap dan pemilik lahan adalah berdasarkan apa yang kita kenal dengan istilah “revenue sharing”, yaitu pembagian berdasarkan total hasil panen yang dihasilkan. Dengan ini berarti, dari hasil pembagian yang diterima oleh petani penggarap di dalamnya masih terdapat biaya-biaya operasional yang belum dikeluarkan, seperti biaya  pembelian bibit, upah alat untuk bajak sawah, upah orang untuk menanam padi, pupuk, racun hama, biaya panen, dan biaya angkut hasil panen ke tempat penyimpanan. Sistem bagi hasil berdasarkan revenue sharing inilah yang kemudian menjadikan proporsi bagi hasil untuk petani penggarap jauh lebih kecil dari pada yang didapatkan oleh pemilik lahan.

Terlepas dari itu semua, kita akui bahwa berkat tenaga dan keringat para petani kitalah butiran-butiran beras dihasilkan dan menjadi nasi seperti yang ada di meja makan kita saat ini. Kita sama-sama berdo’a semoga keberkahan senantiasa terlimpahkan dalam kehidupan mereka, agar anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, agar kesejahteraan dapat merata. Namun semua itu tentu membutuhkan peran semua pihak yang terkait, terkhusus pemerintah guna melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung berkembangnya pertanian di Indonesia.


~Romli Amrullah~

0 comments:

Post a Comment