Beberapa
waktu yang lalu, saya bersama dua orang sahabat di kampus mendapat ajakan
seorang dosen dari jurusan akuntansi untuk terlibat dalam sebuah penelitian tentang fenomena bagi hasil yang
tejadi pada petani penggarap lahan pertanian. Dosen dari jurusan akuntansi yang
yang berfokus pada akuntansi syariah tersebut ingin mengetahui pola bagi hasil
pertanian yang terjadi di lapangan dalam perspektif akuntansi, terutama dalam penerapan
prinsip keadilan dalam perspektif syariah.
Bersama-sama
kami mengendarai sebuah mobil menuju kabupaten Barru, tepatnya kecamatan Tanete
Rilau. Perjalanan dari kota Makassar menuju kabupaten Barru memakan waktu
sekitar 2 jam. Sesampainya di lokasi kami langsung disambut oleh salah seorang
ketua kelompok tani perempuan yang amat baik dan ramah. Tanpa banyak basa-basi
kami pun dipersilakan untuk memasuki rumah beliau yang berbentuk rumah panggung
khas suku Bugis.
Tak
berselang lama, kemudian datang sekitar delapan orang bapak-bapak petani selaku
petani penggarap yang akan menjadi narasumber dari wawancara penelitian kami.
Duduk bersama di atas sebuah gubuk di dekat persawahan menambah asri suasana
kala itu. Perkenalan ringan mengawali obrolan kami. Obrolan yang secara tidak
langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami butuhkan untuk memperoleh
data dan keterangan dari para petani penggarap tersebut.
Obrolan lepas yang tak terpatok pada skrip
pertanyaan melahirkan banyak informasi-informasi yang tak terduga dan menambah
wawasan kami tentang kehidupan mereka sebagai petani penggarap.
Kebanyakan
kasus yang terjadi di lapangan, para petani penggarap merupakan kerabat dekat
dari pemilik tanah. Namun tak jarang pula, hubungan dekat dan kepercayaan
menjadi alasan para pemilik tanah menggarapkan tanahnya kepada orang lain.
Kepercayaan menjadi modal utama untuk menjaga hubungan baik antara petani
penggarap dan pemilik lahan, ungkap salah seorang petani.
Bermodalkan
kepercayaan, seorang petani penggarap dapat mengelola tanah milik orang lain
dengan waktu yang cukup lama hingga beberapa kali musim panen. Namun ada pula
karena tidak adanya kepercayaan atau ketidakpuasan pemilik tanah terhadap hasil
panen petani penggarap mengakibatkan hubungan antara keduanya berakhir pada
saat berakhirnya musim panen yang pertama.
Tidak
ada pencatatan biaya, tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh pemilik lahan,
sekali lagi hanya kepercayaan yang mereka andalkan. Ini menjadi sesuatu yang
menarik dan membuktikan bahwa masyarakat desa dengan kultur dan persaudaraan
yang mereka junjung tinggi mampu meminimalisir prasangka-prasangka buruk
terhadap sesamanya. Bahkan para petani penggarap sebenarnya sadar akan peluang
mereka untuk berbuat curang amatlah terbuka lebar, namun kemudian mereka sadar
bahwa hal tersebut merupakan tindakan tercela dan akan berpengaruh terhadap
kehidupan mereka selanjutnya.
Di
sela-sela pembicaraan kadang mereka juga sedikit mengeluhkan pendapatan yang
diperoleh dari hasil bertani sebagai petani penggarap. Hasil bertani yang harus
dibagi dengan pemilik lahan serta dikurangi dengan biaya-biaya operasional
sebenarnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya saja
bagi mereka bisa bertani walaupun dengan menggarap tanah milik orang lain
merupakan suatu kesyukuran.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, petani penggarap tidak bisa hanya
mengandalkan dari hasil bertani. Kebanyakan dari mereka juga mempunyai
pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang bangunan, beternak, bekerja di
pabrik penggilingan padi dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan tersebut mereka
lakukan di luar musim tanam dan musim panen. Sedangkan aktivitas memupuk dan
pemberian racun terhadap hama dilakukan pada waktu senggang, misalnya pada sore
hari atau pagi hari sebelum melakukan pekerjaan selain bertani.
Walaupun
ada ungkapan yang mengatakan bahwa sebenarnya pendapatan dari bertani sebagai
petani penggarap tidaklah mencukupi kebutuhan, namun rata-rata mereka mampu
menyekolahkan anak-anak mereka hingga tingkat menengah. Bahkan beberapa dari
mereka mengaku bahwa anak mereka telah menyelesaikan pendidikan di perguruan
tinggi.
Dari
hasil wawancara atau obrolan yang kami lakukan, kami dapat menarik salah satu
kesimpulan bahwa sistem bagi hasil yang digunakan antara petani penggarap dan
pemilik lahan adalah berdasarkan apa yang kita kenal dengan istilah “revenue
sharing”, yaitu pembagian berdasarkan total hasil panen yang dihasilkan. Dengan
ini berarti, dari hasil pembagian yang diterima oleh petani penggarap di
dalamnya masih terdapat biaya-biaya operasional yang belum dikeluarkan, seperti
biaya pembelian bibit, upah alat untuk
bajak sawah, upah orang untuk menanam padi, pupuk, racun hama, biaya panen, dan
biaya angkut hasil panen ke tempat penyimpanan. Sistem bagi hasil berdasarkan
revenue sharing inilah yang kemudian menjadikan proporsi bagi hasil untuk
petani penggarap jauh lebih kecil dari pada yang didapatkan oleh pemilik lahan.
Terlepas
dari itu semua, kita akui bahwa berkat tenaga dan keringat para petani kitalah
butiran-butiran beras dihasilkan dan menjadi nasi seperti yang ada di meja
makan kita saat ini. Kita sama-sama berdo’a semoga keberkahan senantiasa
terlimpahkan dalam kehidupan mereka, agar anak-anak mereka bisa mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya, agar kesejahteraan dapat merata. Namun semua itu
tentu membutuhkan peran semua pihak yang terkait, terkhusus pemerintah guna
melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung berkembangnya pertanian di
Indonesia.
~Romli Amrullah~
0 comments:
Post a Comment